TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Iran telah menegaskan bahwa pihaknya menolak negosiasi langsung dengan AS dan memilih untuk melakukan negosiasi tidak langsung.
Oleh karena itu, saat ini Iran sedang menunggu tanggapan dari Amerika Serikat terkait kemungkinan keterlibatan dalam perundingan tidak langsung untuk membahas kesepakatan nuklir.
Hal tersebut disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghaei, dalam konferensi pers pada Senin (7/4/2025).
“Kami telah menyampaikan posisi kami kepada AS dan sekarang menunggu tanggapan mereka untuk memasuki perundingan,” ujar Baghaei, dikutip dari Iran International.
Meski Presiden AS Donald Trump sebelumnya menyerukan diplomasi langsung dengan Teheran, Iran mengisyaratkan bahwa format perundingan tidak langsung masih menjadi preferensi utama.
Namun Baghei menegaskan bahwa ini dilakukan sembari membuka peluang perubahan pendekatan di masa mendatang.
“Keputusan akan dibuat sesuai dengan kondisi dan pada waktu yang tepat,” tambah Baghaei.
Ia juga mengonfirmasi bahwa telah berlangsung diskusi teknis antara kedua pihak,.
Diskusi ini mencakup isu kerja sama nuklir serta kemungkinan keringanan sanksi yang selama ini membebani ekonomi Iran.
“Telah terjadi pertukaran pendapat dan konsultasi mengenai berbagai aspek masalah ini, termasuk beberapa rincian teknis,” jelasnya.
Dalam pernyataan yang semakin memperkuat sinyal dimulainya kembali diplomasi, Baghaei menyebut Oman sebagai mediator potensial.
“Jika proses baru dimulai, Oman akan menjadi salah satu kandidat utama untuk tugas penting ini,” katanya, mengingatkan kembali pada peran Oman dalam memediasi normalisasi hubungan Iran-Saudi pada tahun 2023.
Iran juga menunjukkan keterbukaan terhadap pengawasan internasional.
Hal ini dimulai dari Iran telah menyetujui kunjungan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, ke Teheran yang direncanakan pada akhir April.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk kesiapan Iran dalam menjalin kerja sama nuklir yang transparan.
Sebelumnya, Trump mengatakan bahwa ia lebih suka mengadakan ‘pembicaraan langsung’ dengan Iran.
“Saya rasa prosesnya lebih cepat dan Anda bisa memahami pihak lain dengan lebih baik dibandingkan jika Anda melalui perantara,” ungkapnya, dikutip dari Al-Arabiya.
Namun dengan tegas, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengatakan bahwa negosiasi tidak langsung tidak memiliki arti apa pun.
“Negosiasi langsung tidak akan ada artinya dengan pihak yang terus-menerus mengancam akan menggunakan kekuatan yang melanggar Piagam PBB dan yang menyatakan posisi yang bertentangan dari berbagai pejabatnya,” tegas Araghci.
Oleh karena itu, Araghci menegaskan bahwa Iran hanya ingin melakukan negosiasi tidak langsung dengan AS.
“Kami tetap berkomitmen pada diplomasi dan siap mencoba jalur negosiasi tidak langsung,” tambahnya.
Iran berulang kali menegaskan bahwa program nuklirnya hanya ditujukan untuk tujuan damai.
Namun, meningkatnya ketegangan dengan Washington menyusul retorika keras dari Presiden Trump mendorong Iran untuk meningkatkan kesiapsiagaan militer.
“Angkatan bersenjata kami menjaga dan meningkatkan kesiapan mereka dari waktu ke waktu untuk menghadapi skenario potensial apa pun,” tegas Baghaei.
Merespons ancaman militer dari AS, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyatakan bahwa Iran akan memberikan “pukulan keras” terhadap setiap bentuk serangan.
Sejak Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS, pemerintahannya secara konsisten mengatakan bahwa Iran harus dicegah memperoleh senjata nuklir.
Iran menolak tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa kegiatan nuklirnya semata-mata untuk tujuan sipil.
Akan tetapi, pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan lalu mengatakan bahwa Iran telah mempercepat produksi uraniumnya yang mendekati tingkat senjata.
Pada tahun 2015, Iran mencapai kesepakatan dengan kekuatan dunia, termasuk Amerika Serikat, untuk mengekang program nuklirnya karena kekhawatiran negara itu berpotensi mengembangkan senjata nuklir.
Namun keadaan berubah pada tahun 2018.
Saat itu, Trump menjabat sebagai presiden AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut.
Setelah menarik diri, Trump kemudian menjatuhkan sanksi terhadap Iran.
(Tribunnews.com/Farrah)
Artikel Lain Terkait Donald Trump dan Iran