PIKIRAN RAKYAT – Setelah penutupan panjang selama masa libur Lebaran sejak 28 Maret 2025, Bursa Efek Indonesia (BEI) dijadwalkan kembali dibuka pada Selasa, 8 April 2025. Sorotan utama tertuju pada kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berpotensi mengalami tekanan tajam akibat ketegangan perdagangan global, khususnya imbas kebijakan tarif impor agresif dari Amerika Serikat terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
IHSG Melemah Secara Tahunan, Risiko Global Meningkat
Sebelum libur panjang, IHSG ditutup menguat tipis 0,59 persen ke posisi 6.510,62. Namun secara year to date (YTD), indeks ini masih mencatatkan pelemahan signifikan sebesar 8,04 persen. Sentimen negatif global yang berkembang selama pasar domestik tidak aktif menjadi faktor utama yang berpotensi membebani IHSG pada hari pertama perdagangan pasca-libur.
Sementara itu, berdasarkan data perdagangan terakhir pada Senin, 7 April 2025 pukul 09.58 WIB, IHSG tercatat berada di level 5.991,62, atau turun sebesar 480,73 poin (7,43 persen). Angka ini mencerminkan simulasi tekanan pasar, bukan hasil perdagangan resmi, mengingat bursa Indonesia masih dalam masa libur. Data tersebut menjadi indikasi bahwa pelaku pasar cenderung bersikap waspada menjelang pembukaan kembali perdagangan.
Kebijakan Tarif Impor AS dan Reaksi Pasar Global
Ketegangan perdagangan internasional kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat menerapkan kebijakan tarif impor tinggi terhadap berbagai negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Langkah tersebut langsung memicu reaksi keras dari China, yang membalas dengan menerapkan tarif sebesar 34 persen atas seluruh produk asal Amerika Serikat.
Selama periode 27 Maret hingga 4 April 2025, ketika bursa Indonesia libur, pasar saham global mengalami gejolak. Di kawasan Asia, fluktuasi masih relatif terkendali. Namun di Amerika Serikat dan Eropa, pelemahan terjadi secara masif. Indeks Nasdaq tercatat merosot hingga 11,44 persen, S&P 500 turun 10,53 persen, dan Dow Jones terkoreksi 9,26 persen. Di Eropa, DAX di Jerman melemah hampir 5 persen, sementara indeks lainnya seperti CAC di Prancis dan IBEX di Spanyol juga mencatatkan penurunan signifikan.
Sementara itu, indeks di kawasan Asia menunjukkan performa bervariasi. Nikkei 225 di Jepang turun 6,48 persen, Hang Seng di Hong Kong merosot 9,74 persen, dan KOSPI di Korea Selatan terkoreksi 4,39 persen. Indeks Komposit Shanghai (SSE) juga mengalami penurunan sebesar 5,86 persen. Di dalam negeri, indeks-indeks utama seperti IDX30, LQ45, IDX Growth30, dan Sri-Kehati diperkirakan akan mengikuti arah negatif tersebut, dengan potensi penurunan masing-masing lebih dari 13 persen.
Nilai Tukar Rupiah Mengalami Tekanan Berat
Selain faktor eksternal dari pasar saham global, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga mengalami tekanan berat. Dolar AS diperdagangkan mendekati level Rp17.000 di beberapa bank. Kondisi ini memperburuk sentimen pasar, terutama terhadap emiten yang sensitif terhadap fluktuasi mata uang asing.
Bank Indonesia telah mengantisipasi potensi gejolak nilai tukar melalui strategi triple intervention, yaitu intervensi di pasar valuta asing pada transaksi spot, penggunaan skema Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pengelolaan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Langkah ini diambil guna menjaga likuiditas valas, stabilitas rupiah, serta kepercayaan pasar menjelang pembukaan perdagangan.
Prospek dan Rekomendasi Menjelang Pembukaan Pasar
Pembukaan perdagangan BEI pada 8 April 2025 diprediksi akan dibayangi tekanan dari faktor eksternal, meskipun beberapa analis memproyeksikan bahwa penurunannya tidak akan separah bursa Eropa dan Amerika. Pasar Asia sejauh ini menunjukkan daya tahan yang relatif lebih kuat terhadap kebijakan proteksionisme AS.
Beberapa langkah strategis yang dapat diambil oleh pelaku pasar dalam menghadapi pembukaan bursa antara lain:
Meninjau ulang portofolio dengan fokus pada saham defensif, seperti sektor barang konsumsi primer, kesehatan, dan utilitas yang cenderung lebih stabil di tengah gejolak eksternal. Memperhatikan perkembangan nilai tukar dan kebijakan Bank Indonesia sebagai indikator penting untuk emiten berbasis ekspor-impor serta perusahaan yang memiliki beban utang valas tinggi. Melakukan akumulasi secara bertahap pada saham-saham fundamental kuat yang mengalami koreksi harga besar, sebagai bagian dari strategi jangka menengah hingga panjang. Menghindari aksi jual panik, mengingat reaksi emosional terhadap sentimen global justru bisa berdampak negatif terhadap portofolio investasi. Memanfaatkan instrumen alternatif seperti obligasi pemerintah atau reksa dana pendapatan tetap, guna menjaga stabilitas dan diversifikasi aset.
Situasi pasar yang berkembang pasca-libur panjang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi investor yang mampu bersikap rasional dan analitis. Ketidakpastian global yang meningkat akibat ketegangan dagang perlu terus dipantau, namun langkah stabilisasi domestik seperti intervensi mata uang dan penguatan koordinasi kebijakan fiskal-moneter bisa menjadi bantalan penting untuk mengurangi dampaknya terhadap pasar modal Indonesia.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News