PIKIRAN RAKYAT – Di tengah kontroversi pengumuman tarif baru perang dagang AS yang ditetapkan Donald Trump, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Scott Bessent justru meminta negara-negara yang terdampak tarif impor baru untuk ‘legawa’ alias terima saja.
Dia menyarankan negara-negara yang terkena tarif baru itu untuk “diam saja” dan tidak membalas, guna menghindari eskalasi lebih lanjut.
“Saran saya kepada setiap negara saat ini adalah: jangan membalas. Diam saja. Terima dulu. Lihat bagaimana perkembangannya. Karena jika kalian membalas, maka akan terjadi eskalasi. Jika tidak membalas, ini adalah batas tertingginya,” kata Scott Bessent dalam wawancara dengan Fox News, Kamis 3 April 2025.
Gedung Putih mengumumkan bahwa AS akan menerapkan tarif 10 persen terhadap semua impor asing mulai 5 April 2025. Sementara itu, tarif yang lebih tinggi bagi negara-negara dengan defisit perdagangan terbesar dengan AS akan diberlakukan mulai 9 April 2025.
Pernyataan tersebut juga menegaskan bahwa AS tidak akan memberlakukan tarif pada barang-barang impor yang penting bagi sektor manufaktur dan keamanan nasional, seperti baja, aluminium, otomotif dan suku cadangnya, tembaga, farmasi, semikonduktor, serta kayu, emas batangan, energi, dan beberapa mineral tertentu yang tidak tersedia di AS.
Selain itu, Presiden AS Donald Trump memiliki kewenangan untuk menaikkan tarif timbal balik jika negara mitra dagang memutuskan untuk melakukan tindakan balasan.
Kebijakan Tarif Trump: Latar Belakang dan Tujuan
Dalam sebuah upacara di Rose Garden, Presiden AS mengumumkan kebijakan tarif yang berlaku untuk puluhan negara asing. Menurutnya, langkah ini diambil untuk melindungi industri manufaktur domestik AS yang telah lama dirugikan oleh praktik perdagangan internasional yang tidak seimbang.
“Selama bertahun-tahun, warga Amerika yang bekerja keras dipaksa untuk duduk di sela-sela ketika negara-negara lain menjadi kaya dan berkuasa, sebagian besar dengan mengorbankan kita,” tutur Donald Trump dalam pidatonya, Kamis 3 April 2025.
Dia menambahkan bahwa meskipun tarif yang dikenakan tidak sepenuhnya timbal balik, AS tetap berusaha untuk menyeimbangkan perdagangan dengan mitra-mitranya.
“Kami akan menagih mereka sekitar setengah dari apa yang mereka – dan telah – bebankan kepada kami,” ucap Donald Trump.
Indonesia Jadi Korban Perang Dagang AS, Apa Dampaknya?
Dampak terhadap Ekspor Indonesia
Dengan tarif 32 persen, produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS akan mengalami kenaikan harga di pasar AS. Hal ini berpotensi mengurangi daya saing produk Indonesia, mengingat negara lain yang memiliki tarif lebih rendah akan lebih menarik bagi konsumen Amerika. Beberapa sektor yang paling terdampak meliputi:
Tekstil dan produk garmen Elektronik dan komponen listrik Produk kelapa sawit dan turunannya Karet dan hasil perkebunan
Menurut para analis perdagangan, kebijakan ini bisa menghambat pertumbuhan industri ekspor Indonesia yang selama ini bergantung pada pasar AS.
Potensi Pengalihan Pasar
Menghadapi kenaikan tarif ini, eksportir Indonesia kemungkinan besar akan mencari pasar alternatif untuk menggantikan AS. Negara-negara di Asia, Eropa, dan Timur Tengah bisa menjadi tujuan ekspor baru.
akan tetapi, proses diversifikasi pasar tidak selalu mudah dan memerlukan waktu serta strategi perdagangan yang matang.
Pengaruh terhadap Investasi Asing
Indonesia selama ini menjadi salah satu destinasi investasi yang menarik bagi perusahaan global. Namun, tarif tinggi dari AS bisa membuat investor mempertimbangkan ulang rencana ekspansi mereka di Indonesia, terutama perusahaan yang berorientasi ekspor. Hal ini bisa berdampak pada lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketidakpastian dalam Hubungan Bilateral
Peningkatan tarif ini juga bisa memperburuk hubungan diplomatik antara Indonesia dan AS. Pemerintah Indonesia mungkin perlu melakukan negosiasi ulang atau mencari solusi melalui organisasi perdagangan internasional seperti WTO untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan ini.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News