Selain itu, koalisi menilai penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas, seperti misalnya ikut menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan. Penanganan narkoba semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum.
Sebagai alat pertahanan negara, TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya. Sebab, penanganan narkotika seharusnya lebih menekankan pada aspek medis, dan penegakan hukum pun harus melakukannya secara proporsional, artinya tidak represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.
“Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi war model dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi execive power,” tuturnya.
Lebih berbahaya lagi, sambung Ikhsan, pelibatan tentara dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34 Tahun 2004, namun akan diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana draft RUU TNI.
“Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri,” tukasnya.
Atas dasar hal tersebut, koalisi dengan tegas menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR, sebab masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan Dwi Fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.
“Pernyataan kepala komunikasi presiden yang menilai tidak ada Dwi Fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI,” Ikhsan menandaskan.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3913778/original/099751800_1643088559-20220125-TNI-AD-Gelar-Pasukan-Monas-9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)