Jakarta: Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menunjukkan tren yang kurang menggembirakan. Baik dari sisi pendapatan maupun belanja, pertumbuhan negatif menjadi tantangan utama bagi stabilitas fiskal negara.
Per akhir Februari 2025, pendapatan negara tercatat sebesar Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN 2025. Namun, angka ini mengalami kontraksi sebesar -20,8 persen dibandingkan dengan realisasi pendapatan pada periode yang sama di tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Di sisi lain, belanja negara mencapai Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari alokasi yang tersedia, tetapi tetap mengalami penurunan -7,0 persen dibandingkan tahun lalu.
Menurut Ekonom Bank Danamon Indonesia, Hosianna Evalita Situmorang, penerimaan pajak menjadi salah satu faktor utama penurunan ini.
“Penerimaan pajak kurang dari yang diharapkan, hanya mencapai Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target, dengan pertumbuhan negatif -25 persen secara tahunan. Tren ini menyoroti perlunya strategi penerimaan yang lebih kuat untuk mendukung stabilitas fiskal,” ujar Hosianna dilansir Media Indonesia, Kamis, 13 Maret 2025.
Belanja pemerintah terkendala efisiensi
Selain pendapatan yang menurun, belanja negara juga mengalami penurunan signifikan, terutama di sektor Kementerian dan Lembaga (K/L).
Realisasi belanja K/L mencapai Rp83,6 triliun atau 7,2 persen dari target, dengan kontraksi -30,3 persen secara tahunan.
Namun, belanja pemerintah masih menunjukkan peningkatan dalam hal transfer ke daerah (TKD).
Kementerian Keuangan mencatat bahwa pada Januari dan Februari, TKD telah mencapai Rp136,6 triliun, atau 14,9 persen dari target, dengan pertumbuhan 1,43 persen dibandingkan tahun lalu.
Defisit anggaran dan strategi pembiayaan
Hosianna mengatakan, defisit anggaran kali ini merupakan yang pertama sejak Februari 2021. Hal ini beriringan dengan penerbitan obligasi bruto pemerintah yang mencapai Rp149,44 triliun hingga 10 Maret 2025, meningkat 28,6 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp116,23 triliun.
Defisit anggaran tahun ini diproyeksikan mencapai Rp616,2 triliun atau sekitar 2,53 persen dari PDB. Pemerintah berencana menerbitkan obligasi bruto sebesar Rp1.442,6 triliun, dengan Rp642,6 triliun dalam bentuk penerbitan neto dan Rp800 triliun untuk membayar jatuh tempo utang.
“Meningkatnya jatuh tempo obligasi akibat stimulus pasca-COVID dapat mendorong peningkatan penerbitan hingga tahun 2030,” ucap Hosianna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(ANN)