TRIBUNNEWS.COM – Negosiasi yang dimediasi antara Israel dan Hamas mengenai perpanjangan gencatan senjata di Gaza atas usulan Amerika Serikat (AS) berlanjut di Doha.
Rencananya gencatan senjata Gaza akan diperpanjang selama 60 hari.
Selain itu, perundingan ini juga membahas pembebasan 10 tawanan Israel yang masih hidup.
Utusan Gedung Putih,Steve Witkoff datang ke Qatar dan bergabung dalam dialog tidak langsung antara Israel dan Hamas, yang mulai diadakan minggu ini.
Pembicaraan ini merupakan pertemuan pertama sejak Presiden Donald Trump menjabat pada Januari 2025.
Tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata baru berakhir pada 1 Maret 2024 kemarin, BBC melaporkan.
Israel kini berharap agar AS bisa mendorong perpanjangan gencatan senjata selama dua bulan, yang diharapkan dapat dimulai dengan pembebasan sebagian dari sandera yang masih hidup.
Hamas sejauh ini menolak usulan tersebut.
Kelompok pejuang yang menguasai Gaza itu meminta perundingan tahap kedua dari gencatan senjata segera dimulai.
Diharapakan di fase kedua, perang dapat dihentikan dan pasukan Israel ditarik secara penuh dari wilayah Gaza.
Keresahan warga Gaza
Warga Gaza, seperti Husam Rustom, seorang pembuat roti, merasa sangat tertekan karena kelangkaan bahan pangan dan kenaikan harga yang pesat.
Serangan baru-baru ini oleh Israel ke Gaza juga menambah ketegangan. Israel mengklaim bahwa serangan udara mereka menyasar “teroris” yang dianggap mengancam pasukan Israel.
Namun, banyak warga yang tewas dalam serangan ini, termasuk seorang pria yang hanya sedang mengambil barang-barang dari kamp pengungsi.
Di sisi lain, gerakan Houthi dari Yaman mengancam akan melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal Israel di Laut Merah dan Teluk Aden sebagai respons terhadap pemblokiran bantuan ke Gaza.
Mereka menganggap ini sebagai bentuk solidaritas dengan warga Palestina yang menderita akibat perang.
Sementara itu, keluarga dan pendukung warga Israel yang masih ditawan terus menuntut pembebasan mereka.
Beberapa di antaranya berkemah di luar Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv, meminta agar pemerintah segera menyelesaikan masalah gencatan senjata untuk membawa kembali para sandera.
Di tengah perundingan yang intens, terdapat perbedaan pandangan di Israel mengenai siapa yang lebih peduli terhadap nasib para sandera: Presiden AS Donald Trump atau Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Sebuah jajak pendapat menunjukkan bahwa 50 persen warga Israel percaya Trump lebih peduli, dibandingkan hanya 29 persen yang percaya Netanyahu.
Meskipun ada tekanan internasional dan mediasi dari Qatar, Mesir, serta AS, pihak Hamas diyakini tidak akan melepaskan banyak sandera tanpa memastikan pertempuran di Gaza benar-benar berakhir.
Mereka melihat sandera sebagai alat tawar-menawar yang sangat penting.
Hingga saat ini, meskipun gencatan senjata belum membuahkan hasil yang signifikan, baik Israel maupun Hamas masih menghindari eskalasi besar-besaran.
Namun, serangan udara harian dari Israel menunjukkan bahwa ketegangan tetap tinggi.
Mesir sambut baik keputusan Trump untuk tidak menggusur warga Palestina
Mesir mengatakan pihaknya menghargai pernyataan Trump yang tidak menuntut penduduk Gaza meninggalkan daerah kantong itu, menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri.
Pernyataan itu muncul setelah Trump mengatakan “tidak ada yang mengusir warga Palestina dari Gaza” saat menanggapi pertanyaan selama pertemuan di Gedung Putih dengan Taoiseach Irlandia Micheal Martin, Rabu (12/3/2025).
“Sikap ini mencerminkan pemahaman akan perlunya mencegah memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza dan pentingnya menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan untuk masalah Palestina,” tambah Kementerian Luar Negeri Mesir.
Trump mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh Timur Tengah dan sekitarnya bulan lalu ketika ia mengusulkan pengambilalihan Gaza oleh AS dan mengusulkan agar penduduk Palestina di wilayah yang dilanda perang itu dipindahkan secara permanen ke negara-negara tetangga.
Hamas Desak Aksi Internasional Cegah Bencana Kelaparan di Gaza
Juru bicara Hamas, Abdel-Latif al-Qanou, mengeluarkan pernyataan yang menanggapi blokade Israel terhadap bantuan ke Gaza.
Dalam komentarnya yang diterjemahkan, al-Qanou menyampaikan keprihatinannya terkait penderitaan yang dialami oleh penduduk Gaza akibat pengepungan yang telah berlangsung selama dua minggu.
Al-Qanou menekankan bahwa blokade tersebut mencegah masuknya makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, yang berisiko menyebabkan kelaparan bagi penduduk Gaza.
Ia mengingatkan bahwa jika masyarakat internasional tidak segera mengambil langkah untuk membantu, penduduk Gaza akan menghadapi bencana kelaparan pada bulan suci Ramadan mendatang.
“Hamas menyerukan kepada para mediator internasional untuk memberikan lebih banyak tekanan kepada Israel agar membuka penyeberangan, mengizinkan aliran bantuan, dan menghentikan hukuman kolektif terhadap penduduk Gaza,” ungkap al-Qanou dalam pernyataannya.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)