Puasa bukan sekadar ritual menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Lebih dari itu, puasa adalah perjalanan spiritual yang mengajarkan umat muslim tentang pengendalian diri, penyucian hati, dan kesadaran, akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Jika hanya dipandang sebagai rutinitas, puasa akan kehilangan maknanya. Namun, ketika dipahami secara lebih mendalam, ia menjadi kunci untuk membangun ketakwaan sejati.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an QS Al-Baqarah ayat 183:
يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ ١٨٣
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah mencapai ketakwaan (taqwa). Dalam tafsir Ibn Katsir, taqwa berarti menjaga diri dari segala bentuk dosa dan mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Para sufi memahami bahwa ketakwaan bukan hanya menahan diri dari makanan dan minuman, juga menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa.
Pada era modern yang penuh distraksi dan segala hal bisa diakses dalam sekejap, manusia semakin sulit menemukan ketenangan batin. Media sosial, hiburan instan, dan budaya konsumtif menjebak manusia dalam kesenangan sesaat yang sering kali melalaikan esensi hidup. Puasa dalam tasawuf menawarkan solusi untuk kembali ke dalam diri, mendekatkan hati kepada Allah, dan membebaskan diri dari keterikatan duniawi yang berlebihan.
Para sufi mengajarkan bahwa puasa bukan hanya tentang fisik, juga tentang jiwa. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin membagi puasa ke dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa umum yang hanya menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Kedua, puasa yang lebih dalam, yaitu menjaga seluruh pancaindra dari perbuatan dosa: tidak asal bicara, tidak sembarangan melihat, dan tidak menyakiti orang lain. Ketiga, puasa khusus, yakni seseorang berpuasa dari segala hal yang bisa melalaikan hati dari Allah. Ini adalah tingkatan puasa para wali. Pikiran dan hati hanya terfokus kepada-Nya.
Dalam kitab Tafsir al-Mawardi, dijelaskan bahwa ayat puasa dalam Al-Baqarah ayat 183 juga menunjukkan bahwa puasa adalah bentuk latihan diri untuk mencapai kebersihan hati. Tafsir ini menekankan bahwa puasa tidak hanya berkaitan dengan kesabaran menahan lapar, juga kesabaran dalam menghadapi godaan duniawi.
Abu Talib al-Makki dalam kitab Qut al-Qulub menjelaskan bahwa seseorang yang berpuasa dengan penuh kesadaran akan lebih mudah mengendalikan emosinya dan mencapai derajat spiritual yang lebih tinggi. Ketika seseorang menjalankan puasa pada level tertinggi, ia tidak lagi sekadar lapar atau haus, melainkan merasakan kedamaian batin yang tak tergantikan. Puasa menjadi sarana untuk mengikis ego, menundukkan nafsu, dan membuka hati terhadap cahaya ilahi.
Dalam hadis qudsi disebutkan:
عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda,’Allah berfirman: setiap amal anak Adam dilipatgandakan menjadi sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Karena puasa itu milik-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR Bukhari & Muslim)
Selain itu, dalam kitab Risalah al-Qusyairiyyah, Imam al-Qusyairi menjelaskan bahwa puasa sejati adalah puasa yang membebaskan hati dari segala keinginan selain Allah. Ia menekankan bahwa orang yang berpuasa tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, juga menahan diri dari segala sesuatu yang dapat mengganggu hubungan spiritualnya dengan Allah. Dengan demikian, puasa menjadi jalan untuk mencapai derajat ihsan, yakni seseorang merasa seakan-akan melihat Allah dalam setiap perbuatannya.
Allah juga berfirman:
اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ ؕ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ١٨٤
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Menurut tafsir Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, ayat tersebut menunjukkan puasa memiliki hikmah yang lebih luas daripada sekadar kewajiban. Ia adalah jalan menuju kesucian batin dan kesadaran yang lebih tinggi akan kehadiran Allah dalam hidup umat muslim.
Dengan berpuasa, umat belajar jujur pada diri sendiri. Tidak ada yang mengawasi, tetapi tetap menahan diri karena sadar bahwa Allah Maha-Melihat. Hidup ini tidak hanya tentang memenuhi keinginan sesaat, tetapi tentang bagaimana mengendalikan diri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Puasa juga mengajarkan manusia lebih peka terhadap lingkungan, merasakan penderitaan mereka yang kurang beruntung, serta menumbuhkan empati dan kasih sayang.
Puasa dalam tasawuf adalah jalan menuju kebebasan sejati. Kebebasan dari belenggu ego, dari ketergantungan duniawi, dan dari godaan-godaan yang melemahkan jiwa. Ia adalah revolusi batin yang memungkinkan manusia melihat dunia dengan lebih jernih dan memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada apa yang dimiliki, tetapi pada sejauh mana dekat dengan Allah.
Pada zaman sekarang, segala sesuatu berjalan dengan cepat dan manusia semakin sibuk dengan urusan dunia. Puasa bisa menjadi momentum untuk kembali menata diri. Bukan hanya menahan lapar, juga menahan amarah, kesombongan, dan segala sesuatu yang menjauhkan diri dari Allah. Puasa adalah ibadah yang mampu menyadarkan manusia bahwa hidup bukan hanya tentang dunia, juga mengenai perjalanan menuju keabadian.
Mari jadikan puasa sebagai lebih dari sekadar ritual, yakni sebagai pengalaman transformasi diri. Sejatinya, puasa yang paling bermakna bukan hanya tentang apa yang tidak dilakukan, tetapi tentang bagaimana menjadi lebih baik setelahnya.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
