Blitar (beritajatim.com) – Pertunjukan drama kolosal perjuangan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang digelar Pemerintah Kota Blitar pada Jumat (14/2/2025) menuai kritik dari berbagai pihak. Penyisipan adegan romantis, seperti dansa dengan noni-noni Belanda dan momen perpisahan Sudanco Supriyadi dengan kekasihnya, dinilai mengurangi nilai heroik dari kisah perjuangan tersebut.
Sejumlah pihak menyoroti bahwa unsur romantisme dalam pertunjukan itu justru berpotensi mengaburkan pesan utama perjuangan PETA dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Lebih jauh, adegan tersebut dikhawatirkan lebih diingat oleh penonton daripada nilai-nilai patriotisme yang seharusnya diangkat.
“Ekspektasi saya ya datang ke situ, ada penampilan kolosal perjuangan yang memang mengandung doktrin nasionalis ya. Apalagi momen pemberontakan PETA ini bertepatan dengan hari Valentine yang memang dikenal hari kasih sayang, kalau dengan drama kolosal yang memiliki unsur romance hingga larut malam yang dikhawatirkan justru akan memberikan stimulus pikiran bagi para pasangan belum menikah yang menonton, bagaimanapun hal ini pasti bisa berdampak,” kata Formateur Ketua HMI Cabang Blitar, Qithfirul Aziz, Sabtu (15/2/2025).
Drama kolosal PETA sejatinya memiliki tujuan baik untuk menanamkan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Melalui pementasan ini, anak-anak muda di Blitar diharapkan lebih mengenal perjuangan Sudanco Supriyadi dan rekan-rekannya dalam melawan penjajahan.
Namun, dalam pertunjukan kali ini, terdapat sejumlah adegan tambahan yang tidak sesuai dengan kisah nyata perjuangan tentara PETA. Salah satunya adalah adegan perpisahan Supriyadi dengan seorang perempuan yang berdandan ala noni Belanda. Adegan ini dianggap tidak memiliki dasar historis dan menimbulkan pertanyaan mengenai akurasi sejarah yang disajikan dalam pementasan tersebut.
Adegan romantis dalam drama ini menjadi sorotan utama dan memunculkan pertanyaan besar di kalangan penonton dan pengamat sejarah. Apakah benar Supriyadi memiliki kekasih yang diperankan sebagai noni Belanda? Jika tidak, maka penyisipan adegan ini berpotensi menyesatkan pemahaman generasi muda mengenai sejarah perjuangan bangsa.
“Ada lagi momen ketika berpamitan dengan pacar ini lebih diprioritaskan daripada berpamitan dengan sang ibu, justru ini dapat memantik hasrat, menjadikan standar pengorbanan baru bagi anak muda. Bagaimanapun Supriyadi adalah tokoh besar, yang mana itu bisa menjadi patokan atau tolak ukur bagi masyarakat. Lantas dalam cerita pamitan itu, bukankah ini juga menjadi sebuah pertanyaan mungkinkah pacar Supriyadi ini mata-mata penjajah? Bukankah terlihat bagaimana kelemahan seorang pejuang adalah sang perempuan pada drama tersebut,” tegas Qithfirul Aziz.
Drama kolosal PETA rutin digelar setiap tanggal 14 Februari sebagai upaya Pemkot Blitar untuk menggantikan perayaan Valentine dengan refleksi perjuangan nasional. Namun, penyisipan adegan yang tidak memiliki dasar sejarah menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana naskah dan skenario drama ini telah melalui penyaringan yang ketat.
“Terutama yang menjadi catatan penting adalah sisi heroik dan perjuangan laskar PETA yang seharusnya itu adalah hari untuk kita lebih mengenal Supriyadi. Banyak cerita yang seharusnya diangkat, seperti sisi magis, sisi keberanian, sisi religius dan masa pendidikannya,” tambahnya.
Dengan kritik yang muncul, pertanyaan besar kini mengarah pada bagaimana pengawasan terhadap naskah drama ini dilakukan. Apakah ada kajian sejarah yang mendalam sebelum pementasan dilakukan? Ataukah unsur romansa justru dimasukkan untuk menarik minat penonton muda? Isu ini menjadi perdebatan yang layak diperhatikan dalam penyelenggaraan drama kolosal di tahun-tahun mendatang. [owi/beq]
