Harmoni Dapur Ramadan: ketika Suami-Istri Berkolaborasi Menyiapkan Menu Sahur dan Berbuka

Harmoni Dapur Ramadan: ketika Suami-Istri Berkolaborasi Menyiapkan Menu Sahur dan Berbuka

Stereotipe yang berkembang tentang wanita dan dapur di bulan Ramadan mencerminkan pandangan tradisional yang masih mengakar kuat dalam masyarakat. Selama bulan suci ini, beban ganda seringkali diletakkan di pundak para wanita, terutama ibu dan istri. 

Mereka diharapkan untuk bangun lebih awal, jauh sebelum azan subuh berkumandang, untuk menyiapkan hidangan sahur bagi seluruh anggota keluarga. Dalam pandangan stereotipikal, seorang wanita “ideal” di bulan Ramadan adalah yang mampu menyajikan menu sahur dan berbuka yang bervariasi setiap harinya. Mereka seolah dituntut untuk menjadi koki profesional yang harus menguasai berbagai resep, dari makanan tradisional hingga modern. Kegagalan dalam menyajikan menu yang memuaskan seringkali berujung pada kritik dan perbandingan dengan kemampuan memasak wanita lain.

Stereotipe ini semakin diperkuat dengan ekspektasi bahwa wanita harus pandai mengatur waktu antara pekerjaan di luar rumah dan tugas dapur. Meskipun mereka juga berpuasa dan bekerja, tuntutan untuk menyiapkan hidangan berbuka yang lengkap tetap ada. Bahkan, kemampuan seorang wanita dalam mengelola dapur selama Ramadan seringkali dijadikan ukuran kesuksesan perannya sebagai ibu atau istri. 

Media sosial turut memperkuat stereotipe ini dengan banyaknya konten yang menampilkan “goals” seorang wanita dalam menyiapkan menu Ramadan. Unggahan foto makanan yang tampak sempurna, meja berbuka yang tertata rapi, dan variasi menu yang beragam menciptakan tekanan sosial tersendiri. Wanita yang tidak mampu memenuhi standar ini seringkali merasa tidak cukup baik atau kurang berkompeten dalam perannya.

Pandangan stereotipikal juga mengasumsikan bahwa urusan dapur adalah “kodrat” wanita, sehingga bantuan dari anggota keluarga lain, terutama laki-laki, dianggap sebagai “bonus” dan bukan kewajiban. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam pembagian tugas rumah tangga, di mana wanita menanggung beban lebih berat dalam menyiapkan makanan selama Ramadan.

Dampak dari stereotipe ini bukan hanya pada beban fisik, tetapi juga mental. Wanita seringkali merasa bersalah jika tidak bisa menyajikan menu yang “istimewa” atau jika memilih untuk membeli makanan siap saji untuk berbuka. 

Padahal, esensi Ramadan seharusnya lebih dari sekadar perkara menu makanan, melainkan tentang peningkatan spiritualitas dan penguatan ikatan keluarga. Ramadhan adalah bulan suci yang tidak hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga momentum untuk menguatkan ikatan.

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”

Ayat ini menegaskan bahwa pernikahan dibangun atas dasar cinta dan kerja sama, termasuk dalam urusan dapur selama Ramadhan.

Di era modern ini, paradigma “dapur adalah wilayah istri” mulai bergeser. Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan terbaik dalam hal ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah RA pernah ditanya tentang apa yang dilakukan Nabi di rumahnya, beliau menjawab:

“Beliau biasa membantu pekerjaan keluarganya.”

Ini menunjukkan bahwa membantu pekerjaan rumah tangga, termasuk di dapur, adalah sunnah yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Kolaborasi suami-istri dalam menyiapkan menu sahur dan berbuka menciptakan harmoni tersendiri. Ketika suami turut membantu memotong sayuran, mencuci piring, atau bahkan memasak, beban istri menjadi lebih ringan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.”

Hadits ini menekankan pentingnya menjadi pasangan yang saling mendukung.

Kebersamaan di dapur Ramadhan juga menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak. Mereka belajar bahwa pekerjaan rumah tangga bukan tentang gender, melainkan tentang tanggung jawab bersama. Allah Swt berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 71:

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain….”

Ayat ini mengajarkan tentang pentingnya saling tolong-menolong tanpa memandang gender.

Menyiapkan makanan sahur dan berbuka bersama membuka ruang komunikasi yang lebih intim antara suami-istri. Sambil memasak, mereka bisa berbagi cerita, mendiskusikan menu, atau sekadar bercanda ringan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً”

Kolaborasi di dapur juga mengajarkan nilai-nilai kesabaran dan apresiasi. Suami yang biasanya tidak terbiasa dengan urusan dapur akan lebih menghargai jerih payah istri. Sebaliknya, istri akan merasa dihargai dan didukung.

Di bulan yang penuh berkah ini, kebersamaan di dapur bisa menjadi ladang pahala. Setiap usaha untuk memudahkan pasangan dalam beribadah, termasuk menyiapkan makanan sahur dan berbuka, dicatat sebagai amal kebaikan.

Pada akhirnya, harmoni di dapur Ramadan bukan sekadar tentang pembagian tugas, tetapi lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari cinta dan pengabdian kepada Allah SWT.

Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)