Jakarta –
Tagar All Eyes on Papua yang viral menyoroti kondisi hutan Papua membuka mata betapa parahnya penggundulan hutan di Indonesia. Selain hutan Papua, hutan Kalimantan pun selalu disebut. Koalisi organisasi lingkungan menerbitkan laporan ‘Deforestation Anonymous’ yang menyoroti kebangkitan kembali deforestasi yang mengkhawatirkan di Indonesia.
Laporan ini dirilis oleh lima organisasi lingkungan terkemuka, yakni Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace International, Woods & Wayside International, dan Rainforest Action Network pada Maret 2024.
“Bukti-bukti yang disajikan dalam laporan ini mendokumentasikan kasus pembabatan hutan terbesar saat ini di antara seluruh perusahaan pulpwood dan perkebunan kelapa sawit di Indonesia,” demikian seperti dikutip dari situs resmi Greenpeace.
Deforestasi besar-besaran ini didorong oleh PT Mayawana Persada. Dalam tiga tahun terakhir, PT Mayawana Persada, yang mengoperasikan konsesi kehutanan di provinsi Kalimantan Barat, telah menebangi lebih dari 33.000 hektar hutan hujan, hampir setengah luas Singapura.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa Mayawana adalah bagian dari tren pembalakan liar yang lebih besar ini. Perusahaan tersebut menggunakan struktur perusahaan yang kompleks yang melibatkan yurisdiksi kerahasiaan lepas pantai untuk terus menebangi hutan tropis.
Sungguh memilukan, deforestasi ini telah menghancurkan habitat orangutan Kalimantan dan spesies terancam punah lainnya, serta memicu konflik antara perusahaan dan masyarakat Dayak setempat.
Pulau Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia karena luas hutannya, yaitu sekitar 40,8 juta hektar. Berbagai jenis pohon tumbuh disana, bahkan orang lebih mengenal hutan Kalimantan dengan sebutan Borneo yang berasal dari nama pohon Borneol yang banyak tumbuh di sana. Hutan Kalimantan pun menjadi habitat berbagai jenis satwa liar khususnya bagi primata, mulai dari primata kecil hingga primata besar seperti orangutan.
“Lebih dari 55.000 hektar hutan hujan masih tersisa di konsesi Mayawana, menjadikannya sebuah uji coba penting bagi upaya mengendalikan deforestasi di Indonesia,” kata Hilman Afif dari Auriga Nusantara, salah satu kelompok lingkungan hidup yang ikut menerbitkan investigasi tersebut.
Namun struktur kepemilikan perusahaan yang tidak jelas membuatnya sulit untuk mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab atas aktivitas destruktif perusahaan.
Mayawana dimiliki oleh rantai perusahaan induk yang berada di yurisdiksi kerahasiaan Kepulauan Virgin Britania Raya dan Samoa, yang keduanya tidak mengharuskan nama pemegang saham diungkapkan kepada publik.
“Struktur perusahaan yang rumit ini, pada dasarnya, menyembunyikan pemilik manfaat utama perusahaan dan dapat melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi akibat rusaknya hutan tropis yang begitu luas,” kata Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia.
Dalam kasus ini, dokumen perusahaan, hubungan manajemen operasional, dan hubungan rantai pasokan menunjukkan bahwa perusahaan tersebut terkait dengan Royal Golden Eagle Group (RGE).
RGE adalah produsen pulp, kertas, kemasan, tisu, viscose, dan minyak sawit global, serta merupakan konglomerat induk dari APRIL, Asia Symbol, Sateri, Apical, dan Asian Agri. Pada tahun 2015, RGE dan beberapa anak perusahaannya termasuk APRIL, memulai kebijakan ‘zero deforestation’ dalam rantai pasokannya.
Pembeli produk RGE mencakup beberapa merek fesyen, produsen barang konsumsi, dan pengecer massal terbesar di dunia, yang banyak di antaranya membuat klaim keberlanjutan kepada pelanggan karena tidak menyebabkan kerusakan hutan hujan atau merugikan masyarakat. Klaim keberlanjutan ini kini dipertanyakan karena deforestasi yang terus dilakukan Mayawana di Kalimantan.
Organisasi-organisasi yang menerbitkan laporan ini menyerukan kepada Mayawana untuk segera menghentikan deforestasi dan konversi lahan gambut di dalam konsesinya, menyelesaikan konfliknya dengan masyarakat lokal, dan mengungkapkan nama-nama pemilik manfaatnya.
Deforestasi yang dilakukan Mayawana membuat upaya Forest Stewardship Council (FSC) selama bertahun-tahun untuk kembali bekerja sama dengan APRIL, perusahaan induk Grup RGE untuk operasi pulp dan kertasnya di Indonesia, tidak dapat dipertahankan, setelah mereka dipisahkan dari organisasi tersebut satu dekade lalu karena praktik yang merusak hutan.
Organisasi-organisasi yang menerbitkan laporan ini menyerukan kepada FSC untuk menunda proses ‘perbaikan’ bagi APRIL agar dapat masuk kembali ke dalam skema sertifikasi keberlanjutan, setidaknya sampai deforestasi di Mayawana berhenti dan perusahaan tersebut menyelesaikan konfliknya dengan masyarakat secara adil dan akuntabel.
Menanggapi laporan ini melalui pernyataan yang dikeluarkan APRIL, RGE Group membantah adanya hubungan dengan PT Mayawana Persada. Laporan lengkap ‘Deforestation Anonymous‘ dapat diakses oleh publik dan tersedia juga dalam bahasa Indonesia.
(rns/rns)