Seluruh sisi perintah Tuhan memiliki aspek lahiriah yang kita laksanakan dengan gerakan badan dan aspek batiniah yang kita laksanakan dengan jiwa. Aspek lahiriah dapat disaksikan dengan mata, aspek batiniah disaksikan oleh mereka yang melaksanakan bersama Tuhan.
Perbedaan manusia dan binatang tidak terletak dari gerak tubuhnya. Binatang mungkin saja melaksanakan salat dengan gerakan sempurna bila dilatih, tapi salatnya tidak diberi pahala. Perbedaannya terletak di dalam jiwa. Kita juga dapat bergerak tapi tidak mendapatkan pahala. Begitu juga puasa, lapar tidak menjadi jaminan diterimanya puasa. Puasa dapat menjadi sia-sia jika hanya melaksanakan sisi lahiriah puasa. Karena itu, marilah kita abadi dalam takwa melalui puasa yang juga memenuhi aspek batiniah puasa.
Bila puasa adalah persoalan perut maka takwa sebagai tujuan puasa tidak akan tercapai. Sudah sering kita dengar setiap ceramah tarawih, la’allakum tattaqūn, supaya kalian bertakwa. Bukannya takwa yang diperoleh, melainkan hanya lapar dan haus setelah puasa. Ditambah lagi, di hari lebaran, lapar selama tiga puluh hari dibalas dengan makan rendang sepuasnya.
Imam Ghazali dalam Iḥyā ‘Ulūmuddin membagi orang yang berpuasa menjadi puasa orang awam, puasanya orang khusus, dan puasanya orang paling khusus. Perbedaannya ada pada hal-hal yang ditahan. Jika awam hanya menahan hal-hal yang membatalkan dalam fikih, orang khusus dan setelahnya menahan organ-organ tertentu dan akhlak yang buruk.
Sebenarnya, semua umat muslim bukan orang awam. Mereka sudah termasuk orang-orang yang paling khusus. Semangat Al-Qur’an menjadikan muslim untuk bertakwa untuk semuanya. Tidak ada yang khusus (khaṣṣ) atau paling khusus (khaṣṣ al-khawaṣṣ). Karena itu, saatnya meredefinisi ulang puasa untuk semua umat muslim pada arti paling khususnya, tidak hanya menjalankan kewajiban fiqhiyyat, sehingga puasa bukan hanya soal menahan lapar.
Puasa juga bukan soal menjalankan kewajiban Ramadan. Berpuasa berarti mengambil kesempatan untuk abadi dalam takwa. Kenapa puasa hanya diwajibkan ketika Ramadan? Bulan ini memang punya keistimewaan. Saat itu Al-Qur’an diturunkan, ada malam yang yang lebih baik dari seribu bulan, sampai pahala dilipatgandakan. Tetapi, paradigma ibadah sebaiknya tidak berhenti sebagai pelaksanaan kewajiban.
Paradigma kewajiban membuat seseorang khawatir ketika meninggalkannya dan lega setelah melaksanakannya. Meskipun syarat-syarat fikihnya terlaksanakan, dengan paradigma kewajiban bisa saja hal-hal batiniah tertinggal. Khawatirnya, paradigma kewajiban semakin lama dapat mengubah ‘tujuan’ ibadah dari Tuhan menuju kewajiban. Karena itu, kita perlu mengubah paradigma kita terhadap puasa menjadi paradigma alat.
Inti puasa adalah pengosongan menurut Ibn ‘Arabi dalam Futūḥāt al-Makkiyyah. Puasa dan ibadah-ibadah lainnya hanya alat yang mesti dijalankan dengan baik, secara lahiriah maupun batiniah. Berpuasa berarti menjaga kecenderungan-kecenderungan jiwa agar mencerminkan karakter ketuhanan. Ramadan menjadi momen yang paling memengaruhi proses pengosongan jiwa sehingga takwa (kemampuan menjaga diri) dapat bertahan lama setelah sebulan berpuasa.
Mencapai Tuhan bukan dengan imajinasi atau cara-cara yang dapat dilihat dengan mata. Nabi memerintahkan kita untuk takhalluq bi akhlāqillah, berakhlaklah dengan akhlak Tuhan. Dalam tradisi tasawuf, berakhlak dengan akhlak Tuhan artinya menjadikan jiwa kita seperti cermin bagi Tuhan. Jiwa kita seperti cermin yang dapat terkena debu dan kotoran sehingga memantulkan gambaran yang tidak jelas. Dengan puasa, kita berusaha menggosok-gosok cermin itu sampai mengilap sehingga tidak jelas perbedaan antara cermin dan gambar yang dipantulkannya.
Jalaluddin Rumi pernah menceritakan sayembara lukisan yang diperintahkan seorang Raja. Raja itu ingin gambar alam yang paling indah. Peserta pertama mengambil kanvas kemudian melukis dengan hati-hati dan teliti. Gambarannya sangat indah.
Peserta kedua tidak mengambil kanvas. Ia justru menaruh cermin lalu menggosok cermin itu selama beberapa jam. Ia meletakkan cermin itu menghadap ke gunung. Hingga akhirnya setelah penilaian, peserta kedua mendapatkan juara. Itu analogi bagi orang yang hanya memahami Tuhan melalui pikiran dengan orang yang mendidik jiwa dan melakukan tazkiyatun nafs.
Jangan sampai kita membatalkan batin puasa! Syarat-syarat puasa yang ada pada lahiriah puasa, juga ada pada batin puasa. Saya mendengar cerita seorang ulama kharismatik bertanya kepada pemuda, “Apakah kalian berpuasa?” Pemuda itu kemudian mengiyakan. Ulama itu bertanya, “Puasa semuanya?” Pemuda itu tertegun mendengarnya, karena ia sudah membatalkan puasanya dengan membicarakan aib temannya. Puasa lahirnya sah, tetapi puasa batinnya batal.
Bagaimana kita mencapai takwa? Kata ini cukup abstrak di dengar. Lazim diketahui takwa merupakan keterjagaan dari seluruh larangan syariat dan pelaksanaan seluruh perintah Tuhan. Lebih dari itu, keterjagaan dalam takwa adalah kondisi di mana dengan telinga hamba, Tuhan mendengar; dengan tangannya, Tuhan memegang; dengan kakinya, Tuhan berjalan. Kondisi itu disebutkan dalam hadis Qudsi di Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Kondisi itu bisa diperoleh dengan melaksanakan hal-hal yang dicintai Allah sehingga mendapatkan kecintaan-Nya.
Puasa adalah perisai sebagaimana hadis yang masyhur. Ia menjaga. Tapi, tidak cukup hanya puasa, hal lain yang semestinya ada bersama seseorang ialah melaksanakan karena cinta. Musa pernah berdialog dengan Tuhan dalam kitab Jāmi’ al-Akhbār.
وَ أَوْحَى اَللَّهُ تَعَالَى إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ هَلْ عَمِلْتَ لِي عَمَلاً قَطُّ قَالَ إِلَهِي صَلَّيْتُ لَكَ وَ صُمْتُ وَ تَصَدَّقْتُ وَ ذَكَرْتُ لَكَ فَقَالَ إِنَّ اَلصَّلاَةَ لَكَ بُرْهَانٌ وَ اَلصَّوْمَ جُنَّةٌ وَ اَلصَّدَقَةَ ظِلٌّ وَ اَلذِّكْرَ نُورٌ فَأَيَّ عَمَلٍ عَمِلْتَ لِي فَقَالَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ هُوَ لَكَ فَقَالَ يَا مُوسَى هَلْ وَالَيْتَ لِي وَلِيّاً وَ هَلْ عَادَيْتَ لِي عَدُوّاً قَطُّ فَعَلِمَ مُوسَى أَنَّ أَحَبَّ اَلْأَعْمَالِ اَلْحُبُّ فِي اَللَّهِ وَ اَلْبُغْضُ فِي اَللَّهِ
Dan Allah ta’ala mewahyukan kepada Musa as: “Apakah engkau pernah melakukan suatu amalan untuk-Ku?” Musa menjawab: “Wahai Tuhanku, aku telah salat untuk-Mu, berpuasa, bersedekah, dan berzikir kepada-Mu.” Allah berfirman: “Sesungguhnya salat adalah bukti bagimu, puasa adalah perisai, sedekah adalah naungan, dan zikir adalah cahaya. Lalu amalan apa yang telah engkau lakukan untuk-Ku?” Maka Musa as berkata: “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang murni untuk-Mu.” Allah berfirman: “Wahai Musa, pernahkah engkau mencintai seseorang karena-Ku dan membenci seseorang karena-Ku?” Maka Musa pun mengetahui bahwa amalan yang paling dicintai adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
