TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Harga minyak dunia di perdagangan pasar global dilaporkan naik lebih dari 3 persen, menuju ke level tertinggi dalam tiga bulan usai Amerika Serikat (AS) memperketat sanksi ke Rusia.
Mengutip dari Reuters, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Maret 2025 ditutup menguat 2,84 dolar AS atau 3,7 persen ke level 79,76 dolar AS per barel, sabtu (11/1/2024).
Lonjakan serupa juga terjadi pada jenis minyak Brent yang melesat 2,31 dolar AS atau naik 3 persen hingga dibanderol jadi 80 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak 7 Oktober.
Kedua kontrak ini melesat ke sesi tertingginya setelah pedagang di Eropa dan Asia mengedarkan dokumen yang tidak diverifikasi yang merinci sanksi AS terhadap Rusia.
Sumber-sumber dalam perdagangan minyak Rusia mengatakan bahwa sanksi tersebut akan menyebabkan gangguan parah pada ekspor minyak Rusia ke pembeli Asia, terutama India dan China.
Analis UBS Giovanni Staunovo menyebut sanksi terbaru dari AS dimaksudkan untuk memukul volume ekspor minyak Rusia dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan damai di Ukraina.
Adapun pihak-pihak yang terkena sanksi mencakup lebih dari 200 entitas dan individu yang terlibat dalam sektor energi Rusia, termasuk dua produsen minyak terbesar Rusia, Gazprom Neft dan Surgutneftegas., pedagang minyak Rusia, penyedia layanan lapangan minyak yang berbasis di Rusia, dan pejabat energi Rusia.
AS juga menetapkan 180 kapal pengangkut minyak sebagai “properti yang diblokir.” Banyak dari kapal-kapal tersebut adalah bagian dari “armada bayangan” Rusia yang digunakan untuk mengangkut minyak Rusia secara diam-diam ke seluruh dunia.
Namun imbasnya setelah sanksi diterapkan harga minyak Rusia akan dibanderol jauh lebih mahal, menambah beban bagi pasar Asia yang telah menjadi konsumen minyak Rusia.
“India dan China (sedang) berjuang keras saat ini untuk menemukan alternatif,” kata Anas Alhajji, mitra pengelola di Energy Outlook Advisors, dalam sebuah video yang diunggah ke jejaring sosial X.
Selain sanksi Rusia, alasan harga minyak menguat karena cuaca dingin ekstrem di AS dan Eropa yang kemudian memicu lonjakan permintaan minyak dan meningkatkan konsumsi bahan bakar pemanas.
“Kami memiliki beberapa pelanggan di Pelabuhan New York yang telah melihat peningkatan permintaan minyak pemanas,” kata Alex Hodes, analis di perusahaan pialang StoneX.
Hal tersebut senada dengan pernyataan Biro cuaca AS yang memperkirakan wilayah tengah dan timur negara itu akan mengalami suhu di bawah rata-rata. Selain itu banyak wilayah di Eropa kemungkinan akan terus mengalami awal tahun yang lebih dingin dari biasanya.
“Kami mengantisipasi peningkatan permintaan minyak global yang signifikan dari tahun ke tahun sebesar 1,6 juta barel per hari pada kuartal pertama tahun 2025, terutama didorong oleh permintaan minyak pemanas, minyak tanah, dan LPG,” kata analis JPMorgan dalam sebuah catatan pada hari Jumat.