Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Dulunya Hidup Mewah, Miliarder Ini Kini Jualan Roti di Pinggir Jalan

Dulunya Hidup Mewah, Miliarder Ini Kini Jualan Roti di Pinggir Jalan

Jakarta

Kegagalan berbisnis bisa dialami siapa saja, tak terkecuali pada orang yang telah sukses dan memiliki banyak pengalaman. Namun kegagalan janganlah dijadikan alasan patah semangat, justru pijakan untuk bangkit dan berjuang.

Seperti yang dialami Sirivat Voravetvuthikun, mantan miliarder Thailand yang mendadak jatuh miskin. Kini ia mesti beralih profesi menjadi penjual roti lapis (sandwich) di pinggir jalan demi bertahan hidup.

Bangkrut Akibat Krisis Keuangan pada 1997

Dilansir situs Bangkok Post, awalnya Sirivat Voravetvuthikun adalah pialang saham yang sukses. Keahliannya dalam memilih saham yang tepat sampai-sampai membuatnya dijuluki “The Phantom”.

Selesai dari Universitas Texas di Austin pada 1974, Sirivat menjabat sebagai CEO di perusahaan investasi Asia Securities pada usia 28 tahun. Setelah 20 tahunan terjun di dunia saham, ia meraup banyak keuntungan hingga menjadikannya salah satu miliarder Thailand pada awal 1990-an.

Namun nasib berkata lain. Tak berselang lama, bisnis investasi Sirivat hancur saat jatuhnya pasar saham Thailand pada 1994. Krisis keuangan yang menyebar ke sebagian besar negara Asia pada 1997 menjadi pukulan terakhir bagi bisnisnya, terutama proyek kondominium mewahnya di Taman Nasional Khao Yai.

Keterpurukannya tidak berhenti di situ. Sirivat juga terlilit utang mencapai 30,4 juta USD atau setara Rp 492 miliar (kurs Rp 16.196). Ia pun dinyatakan bangkrut pada 2003 dan itu menjadi masa paling sulit bagi dirinya dan keluarga.

“Jadi hidup saya berubah total dari gaya hidup mewah menjadi gaya hidup orang biasa,” ujar Sirivat dalam pemberitaan VOA.

Sirivat Voravetvuthikun menjual roti lapis (sandwich) di pinggir jalanan Bangkok. Foto: LightRocket via Getty Images/Peter CharlesworthBangkit dengan Berjualan Roti Lapis

Dengan menumpuknya utang yang ditinggalkan, jelas para kreditur silih berganti mendatangi Sirivat Voravetvuthikun. Demi bertahan hidup dan membayar utangnya, ia mengesampingkan harga dirinya dan mulai menjajaki sandwich di jalanan Bangkok dengan kotak busa kuning yang tergantung di lehernya.

Pada hari pertama berjualan, ia hanya memperoleh 14 USD atau setara Rp 226 ribu. Rerata penghasilan hariannya juga tak seberapa. Namun itu tak membuatnya patah semangat, Sirivat bersama istri terus berjuang untuk melanjutkan hidup.

Ia pun keluar dari kebangkrutan tiga tahun kemudian dengan perlahan-lahan meningkatkan skala bisnisnya, Sirivat Sandwich, diikuti membuka kedai kopi dan usaha katering.

Kisah perjuangan Sirivat menyebar, ia dikenal sebagai ‘Tuan Sandwich’ dan bisnis roti lapisnya menjadi terkenal, sebagai simbol harapan dan penolakan menyerah pada takdir. Berbekal pengetahuan dan pengalamannya, ia mengaku masih melakukan investasi saham di samping bisnis F&B-nya meski tidak dengan modal sebanyak dahulu.

(azn/row)