Tanpa “Presidential Threshold”: Harapan Baru atau Kuda Troya Oligarki?
Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapuskan
presidential threshold
(PT) adalah salah satu putusan penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
MK menyatakan, syarat ambang batas pencalonan presiden di dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi.
Pasal tersebut menyatakan “pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Banyak yang menganggapnya sebagai langkah progresif untuk menciptakan ruang politik yang lebih inklusif. Partai kecil kini dapat mencalonkan presiden tanpa dibatasi jumlah kursi di parlemen.
Namun, dalam upaya mendukung demokrasi yang lebih luas, kita tidak bisa menutup mata terhadap tantangan yang muncul.
Penghapusan PT memberikan peluang besar untuk mereduksi dominasi partai-partai besar dalam proses pencalonan presiden.
Sebelumnya,
presidential threshold
sering kali menjadi alat yang membatasi partisipasi politik, hanya memberi ruang kepada partai-partai besar untuk memutuskan kandidat.
Kini, partai kecil dan kekuatan politik alternatif memiliki peluang sama untuk mengajukan calon presiden. Langkah ini memperluas cakrawala demokrasi, memberikan rakyat lebih banyak pilihan, dan mendorong kompetisi politik yang lebih sehat.
Namun, seperti yang dirumuskan dalam
Elite Theory
oleh Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, setiap reformasi dalam sistem politik selalu berisiko dimanfaatkan oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Di Indonesia, elite politik memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi. Penghapusan PT, meskipun membuka ruang baru, bisa menjadi alat bagi oligarki untuk semakin memperkuat cengkeramannya.
Dukungan finansial yang diberikan kepada partai kecil sering kali datang dengan syarat-syarat tertentu yang pada akhirnya membentuk kembali dominasi elite dalam wajah baru.
Dalam sistem tanpa PT, ada potensi peningkatan jumlah kandidat presiden. Ini memberikan kesan perluasan demokrasi, tetapi juga membawa tantangan serius berupa fragmentasi suara.
Dalam kondisi ini, elite dengan sumber daya besar cenderung memanfaatkan negosiasi politik pasca-pemilu untuk menentukan arah kekuasaan.
Proses ini sering kali tidak mencerminkan kehendak rakyat, tetapi lebih pada kalkulasi pragmatis demi pembagian kekuasaan. Tanpa pengawasan ketat, sistem baru ini berisiko memperkuat oligarki daripada memperkuat demokrasi.
Selain itu, penghapusan PT juga membawa konsekuensi terhadap pola kampanye politik di Indonesia. Persaingan kandidat yang lebih terbuka berpotensi meningkatkan biaya politik.
Kandidat yang tidak memiliki akses ke sumber daya besar akan menghadapi kesulitan menjangkau pemilih di negara yang luas seperti Indonesia.
Hal ini memberikan peluang kepada oligarki untuk mendominasi kampanye dan membatasi ruang bagi kandidat alternatif dengan visi kerakyatan. Tantangan ini harus diantisipasi melalui pengaturan dana kampanye yang ketat dan transparan.
Di tingkat lokal, absennya PT membuka kemungkinan terbentuknya koalisi ad hoc antara partai-partai kecil.
Koalisi semacam ini, meskipun menawarkan fleksibilitas, sering kali dibentuk berdasarkan kepentingan pragmatis jangka pendek, bukan kesamaan ideologi atau visi.
Akibatnya, pemerintahan yang terbentuk berisiko mengalami ketidakstabilan politik, dengan proses pengambilan keputusan yang terhambat oleh fragmentasi kepentingan.
Masalah lain adalah peran media. Di Indonesia, banyak media besar dimiliki oleh oligarki. Mereka memiliki kemampuan untuk mendikte narasi publik, mengangkat kandidat tertentu, dan menyingkirkan suara kritis.
Dalam iklim seperti ini, kandidat yang tidak memiliki akses media akan kesulitan bersaing. Pemilu bukan lagi soal kompetisi gagasan, melainkan perang persepsi yang dirancang untuk memenangkan mereka yang sudah memiliki kekuasaan.
Namun, penghapusan PT bukan berarti akhir dari perjuangan untuk menjaga demokrasi. Justru inilah saatnya masyarakat sipil memainkan peran utama sebagai pengawas dan pengimbang kekuasaan.
Tanpa masyarakat sipil yang kuat, kita berisiko menyaksikan demokrasi yang semakin dikendalikan oleh segelintir orang.
Masyarakat sipil harus memperkuat peran mereka dalam memastikan bahwa media tetap independen dan menjadi ruang debat yang setara bagi semua kandidat.
Media harus menjadi penjaga transparansi, bukan alat oligarki untuk mendikte hasil pemilu. Dengan informasi yang objektif dan kredibel, rakyat dapat membuat keputusan yang terinformasi.
Selain itu, regulasi pendanaan politik harus menjadi prioritas. Tanpa transparansi dalam sumber dana kampanye, pemilu akan terus menjadi arena permainan uang.
Indonesia harus belajar dari negara lain yang membatasi kontribusi individu dan korporasi, mewajibkan pelaporan dana kampanye secara terbuka, dan memastikan bahwa semua kandidat bertarung di arena yang setara.
Mekanisme verifikasi kandidat berbasis dukungan rakyat juga penting. Calon presiden harus menunjukkan legitimasi melalui dukungan nyata dari konstituen, misalnya melalui petisi nasional.
Sistem ini memastikan bahwa hanya kandidat dengan basis dukungan jelas yang dapat maju, mencegah munculnya kandidat boneka yang hanya berfungsi untuk memecah suara atau melayani elite tertentu.
Putusan MK ini membawa harapan sekaligus ancaman. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi langkah maju menuju demokrasi yang lebih substansial.
Namun, jika dibiarkan tanpa pengawasan dan reformasi, maka putusan ini hanya akan mempertegas kendali oligarki dengan wajah baru yang lebih terselubung.
Sejarah menunjukkan bahwa elite selalu memiliki cara untuk memanfaatkan perubahan aturan demi keuntungan mereka.
Jika masyarakat sipil tidak diperkuat, maka rakyat tidak hanya akan kehilangan ruang demokrasi, tetapi juga kepercayaan bahwa demokrasi adalah milik mereka.
Reformasi politik di Indonesia sering kali hanya mengganti struktur tanpa mengubah substansi.
Penghapusan PT adalah peluang untuk demokrasi yang lebih inklusif. Namun, tanpa pengawasan dan regulasi yang tegas, ia berisiko mengulang pola lama: menjadi alat baru bagi oligarki untuk mempertahankan dominasi dalam wajah yang berbeda.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.