Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri, apabila mereka mengembalikan uang rakyat. Hal ini lantas menuai polemik.
Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M Syarif berpandangan, Asta Cita soal korupsi yang disampaikan Prabowo terkesan hanya lip service semata.
“Salah satu program Asta Cita yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi berpotensi hanya akan menjadi lip service belaka saat Presiden menyampaikan bahwa akan memberikan maaf kepada koruptor ketika bersedia mengembalikan kerugian negara,” kata dia dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
Menurut Laode, pernyataan Presiden Prabowo mengenai pemberian maaf kepada koruptor tidak sejalan dengan makna kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Karena sifatnya yang luar biasa, maka perlu ada upaya luar biasa pula yang wajib dilakukan oleh Pemerintah.
“Bila tidak, maka upaya memberikan efek jera pada koruptor semakin jauh panggang dari api. Pengampunan kepada koruptor tersebut dapat dipastikan akan semakin memperburuk kondisi perlawanan terhadap korupsi yang kini telah melemah,” ungkap dia.
“Kondisi tersebut jelas juga tak menguntungkan pemerintahan Prabowo Subianto karena wabah korupsi juga mengancam program-program strategis pemerintah,” sambungnya.
Laode menegaskan, dalam memberikan efek jera bagi koruptor, Pemerintah patut diduga tidak melakukannya dalam koridor yang luar biasa. Jika pemerintah serius ingin mengoptimalkan pengembalian kerugian yang diakibatkan praktik korupsi, alih-alih memberi pengampunan, pemerintah semestinya segera merealisasikan pengesahan RUU Perampasan Aset yang telah molor sejak 2012 lalu.
“RUU tersebut patut dilihat juga sebagai upaya pemulihan keuangan negara terhadap kerugian kejahatan ekonomi, termasuk korupsi. Jika aturan tersebut disahkan, maka koruptor tidak perlu lagi untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela. Sebab, telah ada mekanisme hukum yang ditempuh agar pengembalian kerugian negara jauh lebih optimal,” ungkap dia.
Menurut Laode, pernyataan pengampunan kepada koruptor juga merupakan suatu bentuk anomali kebijakan melawan korupsi yang juga bertentangan dengan perangkat hukum yang berlaku.