TRIBUNNEWS.COM – Pengacara Hasto Kristiyanto, Alvon Kurnia Palma membantah pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebut kliennya memberikan uang kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan terkait kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024, Harun Masiku.
Alvon mengatakan hal tersebut tidak tertulis pada putusan vonis terhadap Wahyu Setiawan yang tertuang dalam putusan Nomor 28 Tahun 2020.
Berdasarkan temuan tersebut, Alvon menilai penetapan tersangka terhadap Hasto terkesan dipaksakan oleh KPK.
“Kami sebenarnya melihat beberapa indikasi bahwa ini (penetapan tersangka) dipaksakan.”
“Pertama, di dalam putusan (vonis) Wahyu Setiawan Nomor 28 Tahun 2020, itu tidak ada bukti itu uang dari Hasto Kristiyanto. Itu dalam pertimbangan putusan halaman 160-161,” katanya dikutip dari YouTube Kompas.com, Rabu (25/12/2024).
Selain itu, Alvon juga menyoroti terkait penetapan tersangka terhadap Hasto yang menurutnya terkesan sangat cepat.
Dia mengatakan seharusnya Surat Perintah Penyidikan (sprindik) diterima terlebih dahulu oleh Hasto sebelum ditetapkan menjadi tersangka.
“Mestinya, itu kan ada di sini penetapan tersangkanya. Dulu, sprindik dulu baru penetapan tersangka karena itu tidak ditemukan,” jelasnya.
Kendati demikian, Alvon menegaskan Hasto akan kooperatif untuk menjalani proses hukum usai ditetapkan menjadi tersangka oleh lembaga antirasuah.
“Ya beliau akan kooperatif karena ini kan negara hukum kan, oleh sebab itu makanya prinsip-prinsip hukum seperti fair trial harus dikedepankan,” ucap Alvon.
KPK Sebut Hasto Sediakan Uang untuk Suap Wahyu Setiawan
Sebelumnya, Ketua KPK, Setyo Budiyanto membeberkan peran Hasto dalam penyuapan terhadap eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Mulanya, Setyo menyebut Hasto bersama dengan Harun Masiku memberikan suap kepada Wahyu terkait Pileg 2019 lalu.
Setyo mengatakan Hasto meminta agar Harun Masiku ditempatkan pada daerah pemilihan (dapil) Sumatra Selatan meski yang bersangkutan berdomisili di Toraja, Sulawesi Selatan.
Dalam raihan suara, Harun Masiku kalah dengan calon legislatif (caleg) PDIP lainnya yaitu, Riezky Aprilia.
“Bahwa proses pemilihan legislatif tahun 2019, ternyata HM hanya mendapatkan suara 5.878. Sedangkan, caleg atas nama Riezky Aprilia memperoleh suara 44.402,” kata Setyo dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Setyo mengatakan seharusnya Riezky Aprilia menjadi sosok yang menggantikan caleg terpilih, Nazarudin Kiemas.
Adapun Nazarudin Kiemas meninggal dunia pada 26 Maret 2019 yang lalu.
Namun, kata Setyo, ada upaya dari Hasto untuk memenangkan Harun Masiku lewat beberapa upaya yang dilakukan.
Pertama, Hasto melakukan pengujian konstitusional atau judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Setelah dikabulkan, ternyata KPU tidak melaksanakan terkait putusan judicial review Hasto yang dikabulkan oleh MA.
Hasto, kata Setyo, lantas mengajukan permintaan fatwa kepada MA.
“Kemudian menandatangani surat nomor 2576 tertanggal 5 Agustus 2019 perihal permohonan pelaksanaan putusan judicial review,” kata Setyo.
“Setelah ada putusan dari MA, KPU tidak mau untuk melaksanakan putusan tersebut. Oleh sebab itu, Saudara HK meminta fatwa kepada MA,” sambungnya.
Mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan memenuhi panggilan penyidik KPK untuk bersaksi di kasus suap yang menyeret buronan Harun Masiku, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/12/2023). (Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama)
Hasto juga berupaya dengan meminta Riezky mengundurkan diri dan diganti oleh Harun Masiku menggantikan Nazarudin yang meninggal dunia.
Namun, kata Setyo, permintaan Hasto itu ditolak oleh Riezky.
Kemudian, Hasto juga berupaya dengan memerintahkan kader PDIP, Saiful Bahri ke Singapura agar Riezky mau mundur tetapi berujung penolakan serupa.
Upaya selanjutnya yang dilakukan Hasto adalah menahan surat undangan pelantikan anggota DPR yang ditujukan kepada Riezky.
“Bahkan surat undangan pelantikan anggota DPR RI atas nama Riezky Aprilia ditahan oleh Saudara HK dan meminta Saudari Riezky mundur setelah pelantikan,” jelas Setyo.
Setyo menyebut upaya selanjutnya yang dilakukan Hasto adalah menyuap Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Agustiani Tio Fridelina.
“Di mana Wahyu merupakan kader dari partai yang menjadi komisioner di KPU,” jelas Setyo.
Setyo mengatakan lalu Hasto bertemu dengan Wahyu pada 31 Agustus 2019.
Kemudian, berdasarkan penyelidikan, Setyo menyebut uang yang digunakan untuk menyuap Wahyu dari Hasto.
“Bahwa dalam proses perencanaan sampai proses penyerahan, uang tersebut Saudara HK mengatur dan mengendalikan Saudara Saiful Bahri dan DTI dalam memberikan suap kepada komisioner KPU, Wahyu Setiawan,” tuturnya.
Hasto juga memiliki peran mengendalikan advokat, Dony Tri Istiqomah (DTI) untuk menyusun kajian hukum pelaksanaan putusan MA dan surat pelaksanaan fatwa MA kepada KPU.
Selain itu, Hasto juga meminta Dony untuk melobi anggota KPU agar bisa menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR.
“Saudara HK mengatur dan mengendalikan Saudara DTI untuk aktif mengambil dan mengantarkan uang suap untuk diserahkan kepada komisioner KPU melalui Tio,” tutur Setyo.
“Kemudian, HK bersama-sama dengan HM, Saiful Bahri, dan DTI melakukan penyuapan terhadap Wahyu Setiawan, jumlahnya seperti pada kasus sebelumnya,” sambungnya.
Atas perbuatannya ini, Hasto dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)