Jakarta –
Pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa, mengatakan negaranya sudah lelah perang dan tidak akan menjadi ancaman bagi negara-negara tetangganya atau negara-negara Barat. Merespons itu, Amerika Serikat justru menyambangi Ahmed al-Sharaa.
Dilansir BBC, Sabtu (21/12/2024), dalam wawancara di Damaskus, ia menyerukan agar sanksi terhadap Suriah dicabut.
“Sekarang, setelah semua yang terjadi, sanksi-sanksi harus dicabut karena sanksi-sanksi tersebut ditujukan kepada rezim lama. Korban dan penindas tidak boleh diperlakukan dengan cara yang sama,” kata Sharaa.
Sharaa memimpin serangan kilat yang menggulingkan rezim Bashar al-Assad kurang dari dua minggu lalu. Pria yang sebelumnya dikenal dengan nama samaran Abu Mohammed al-Jolani ini adalah pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok dominan dalam aliansi pemberontak.
Ia kemudian mengatakan HTS harus dihapus dari daftar organisasi teroris yang ditetapkan oleh PBB, AS, Uni Eropa, dan Inggris. HTS awalnya ditetapkan sebagai organisasi teroris lantaran merupakan kelompok sempalan al-Qaeda, walau kemudian memisahkan diri pada 2016.
Sharaa membuat klaim bahwa HTS bukanlah kelompok teroris. HTS tidak menargetkan warga sipil atau wilayah sipil, katanya. Bahkan, menurut klaim Sharaa, HTS adalah korban kejahatan rezim Assad.
Sharaa Bantah Mau Ubah Suriah Jadi Afghanistan Baru
Kondisi Suriah. (BBC World)
Dia lantas membantah bahwa dirinya ingin mengubah Suriah menjadi Afghanistan versi baru.
Sharaa mengatakan negara-negara di Timur Tengah sangat berbeda, dengan tradisi yang berbeda. Afghanistan adalah masyarakat kesukuan. Di Suriah, katanya, pola pikir penduduknya berbeda.
Dia membuat klaim bahwa dirinya meyakini kaum perempuan berhak mendapat pendidikan.
“Kami telah memiliki universitas di Idlib selama lebih dari delapan tahun,” kata Sharaa, mengacu pada provinsi barat laut Suriah yang telah dikuasai pemberontak sejak 2011.
“Saya pikir persentase perempuan di universitas lebih dari 60%.”
Ketika ditanya apakah konsumsi alkohol akan diizinkan, Sharaa berkata: “Ada banyak hal yang tidak berhak saya bicarakan karena itu adalah masalah hukum.”
Ia menambahkan bahwa akan ada “komite ahli hukum Suriah untuk menulis konstitusi. Mereka akan memutuskan. Dan setiap penguasa atau presiden harus mematuhi hukum”.
AS Sambangi Pemimpin Baru Suriah
Ilustrasi bendera Amerika Serikat. (BBC World)
Amerika Serikat pun langsung mengambil langkah usai Sharaa menyampaikan Suriah lelah berperang. Pihak AS mengirimkan misi diplomatik pertama ke Damaskus sejak berkecamuknya Musim Semi Arab 2011 silam.
Para diplomat akan bertemu dengan perwakilan HTS, yang hingga kini masih dikategorikan sebagai kelompok teroris, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat prodemokrasi.
Delegasi AS mencakup Barbara Leaf, pejabat tinggi Kemenlu AS untuk Timur Tengah, dan Daniel Rubinstein, diplomat veteran yang berpengalaman di dunia Arab, kata seorang jurubicara Kemenlu.
Hadir pula Roger Carstens, negosiator AS, yang ditugaskan mencari petunjuk tentang warga Amerika yang hilang, termasuk Austin Tice, seorang jurnalis yang diculik pada bulan Agustus 2012.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyambangi satu per satu negara jiran Suriah. Dalam sebuah pertemuan pada hari Sabtu (14/12) di resor Aqaba, Yordania, negara-negara Barat dan Arab serta Turki bersama-sama menyerukan untuk sebuah “pemerintahan yang inklusif, non-sektarian, dan representatif” yang menghormati hak-hak semua komunitas Suriah yang beragam.
Seruan itu ikut digaungkan Iran, yang sebelumnya mendukung rejim Assad di Damaskus. Presiden Masoud Pezeskhian mengimbau “partisipasi semua kelompok Suriah pada pemerintahan baru, serta rasa hormat kepada keyakinan dan agama yang berbeda-beda.”
Desakan yang sama dirasakan sebagian warga Suriah, terutama kaum marjinal dan minoritas etnis. Pada Kamis (19/12), ratusan orang berdemonstrasi di Damaskus demi menolak “negara agama,” dan menuntut demokrasi serta kesetaraan gender.
Protes juga digalang ribuan warga Kurdi di Qamshli, di timur laut, karena mengkhawatirkan pengaruh Turki, yang kini giat menyerang dari seberang perbatasan. Mereka meneriakkan yel-yel “bangsa Suriah adalah satu,” atau “katakan tidak kepada perang, tolak intervensi militer Turki.”
Halaman 2 dari 3
(maa/rfs)