Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha rokok elektrik dan produsen sigaret putih mesin (SPM) mengaku lega dengan kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) 2025. Hal ini dinilai dapat kembali menyamakan pangsa pasar dengan rokok konvensional.
Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 97/2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
Sementara, ketentuan tarif HJE rokok elektrik tertuang dalam PMK 96/2024 tentang perubahan atas PMK Nomor 193/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengatakan pihaknya berharap kebijakan tersebut dapat memberikan dampak positif untuk perbaikan kinerja industri hasil tembakau (IHT).
“SPM yang selama ini selalu menerima kenaikan tarif dan HJE paling tinggi sehingga pangsa pasarnya terus menurun,” kata Benny kepada Bisnis, Selasa (24/12/2024).
Untuk itu dia mengapresiasi keputusan pemerintah yang juga menahan kenaikan tarif cukai tahun depan. Menurut Benny, hal tersebut sangat membantu di tengah ekonomi yang saat ini dinilai tidak baik-baik saja.
Dalam hal ini, Gaprindo Secara aktual akan memperhitungkan dampak langsung PMK terkait kebijakan cukai yang baru tersebut. Kendati demikian, masih terdapat tantangan non fiskal yang dihadapi industri.
“Tantangan IHT masih banyak ke depan bukan hanya berupa kebijakan fiskal seperti cukai, tetapi juga tantangan non-fiskal terutama regulasi yang semakin restriktif seperti pasal-pasal ‘bermasalah’ dalam PP 28/2024 termasuk turunannya,” ujarnya.
Dalam hal ini, dia menyoroti rencana penerapan kemasan rokok polos diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang merupakan turunan dari PP 28/2024 tentang Kesehatan.
Merujuk pada R-Permenkes, salah satu yang memberatkan industri yaitu terkait penyeragaman kemasan yang diusulkan oleh Kemenkes. Kebijakan itu disebut kontraproduktif terhadap tujuan pengendalian dan malah mendorong peningkatan rokok ilegal.
“Sebenarnya kebijakan ini sebelumnya sudah ditolak secara tegas oleh keseluruhan ekosistem IHT karena tidak selaras dengan kebijakan fiskal yang arahnya menekan rokok ilegal dan mencegah down trading,” jelasnya.
Untuk itu, Gaprindo menunggu komitmen dan langkah nyata yang lebih terpadu dari Pemerintah untuk pemberantasan rokok ilegal sampai ke akar-akarnya.
Di samping itu, Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Budiyanto mengatakan kenaikan HJE rokok elektrik rata-rata 8,7% tahun depan relatif moderat dan diyakini tidak memberatkan pasar.
“Kami optimis kenaikan ini tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap skala pasar, baik dari sisi produksi maupun daya serap konsumen, meskipun perlu terus memantau dinamika pasar ke depan,” jelas Budi kepada Bisnis, dihubungi terpisah.
Namun, APVI melihat perlunya penguatan sinergi agar kebijakan yang diambil tak hanya fokus pada target fiskal, tetapi juga memperhatikan karakteristik unik dari setiap segmen industri, seperti rokok elektronik, yang berbeda dengan produk tembakau konvensional.
Pihaknya juga mendorong agar kebijakan fiskal, khususnya terkait tarif cukai, dapat mempertimbangkan daya beli konsumen yang mengalami tekanan akibat beban pajak yang terus meningkat.
“Selain itu, kami berharap pemerintah dapat memberikan ruang dialog yang lebih intensif untuk menyusun kebijakan jangka panjang yang memastikan keberlanjutan industri hasil tembakau, baik konvensional maupun elektronik. Pada 2026 dan 2027,” pungkasnya.