Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies atau Celios menilai justifikasi pemerintah bahwa PPN 12% tidak memberikan dampak signifikan terhadap inflasi dinilai tidak tepat dan menyesatkan.
Pemerintah menyampaikan bahwa tingkat inflasi yang melonjak pada 2022 lalu bukanlah akibat PPN 11% yang efektif per 1 April 2022, melainkan karena tekanan harga global hingga gangguan pasokan pangan dan kenaikan harga BBM.
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menuturkan memang inflasi yang naik secara keseluruhan saat itu bukan hanya akibat PPN 11%. Namun, kenaikan tarif pajak tersebut jelas mengerek inflasi tahunan dari 2,64% (Maret 2022) menjadi 4,94% (Agustus 2022).
“Pemerintah terjebak dengan kebijakan yang sudah diketok palu. Jadi, mau bagaimanapun juga dicari justifikasinya [bahwa PPN 12% tidak berdampak signifikan bagi perekonomian],” ujarnya, Senin (23/12/2024).
Padahal, kala itu pemerintah juga memprediksikan inflasi akan tetap dalam target 2%—4% sepanjang 2022. Realisasinya, inflasi tahunan melonjak ke level 5,51% dan bahkan tercatat menjadi level tertinggi sejak 2014.
Media menilai anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh kenaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan supply pangan yang terjadi sepanjang tahun pada 2022.
Untuk itu, Media melihat adanya potensi inflasi akan melonjak ke level 4,1% atau lebih besar dari target pemerintah maupun Bank Indonesia yang berada di angka 1,5%—3,5%. Khawatirnya jika kenaikan PPN tidak direspon dengan baik, angka 4% akan tercapai pada kuartal pertama tahun depan.
Sekalipun pemerintah menyiapkan bantalan berupa paket kebijakan ekonomi 2025 yang diprediksi senilai Rp265,6 triliun, namun efek rambatan akan lebih kuat terhadap daya beli masyarakat.
Sementara bantuan sosial yang pemerintah siapkan untuk 2025 pun nyatanya tidak didesain untuk masyarakat miskin.
“Kapasitas fiskal kita untuk bansos enggak sekuat satu atau dua tahun lalu karena faktor rupiah dan proyek PSN IKN yang belum bisa langsung menghasilkan output ekonomi signifikan. inflasi sangat sulit ditahan dalam dua kuartal pertama 2025,” lanjutnya.
Melihat data secara historis pada 2022, inflasi awal tahun dimulai dengan angka 2,18% (year on year/YoY). Kemudian inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) melandai ke level 2,06% dan mulai meningkat kembali pada Maret menjadi 2,64%.
Sementara pada April 2022, di mana pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% mendorong inflasi melaju ke 3,47% (YoY). Inflasi kembali meningkat pada Mei, Juni, dan Juli 2022 yang masing-masing sebesar 3,55%, 4,35%, dan 4,94% (YoY).
Kemudian inflasi mulai melonjak ke 5,95% usai pemerintah memutuskan melakukan penyesuaian harga BBM pada September. Inflasi di atas 5% bertahan hingga Februari 2023. Sejak saat itu, inflasi mulai melandai dan mencapai 1,55% (YoY) pada November 2024, bahkan menjadi yang terendah sejak Agustus 2021.