Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah blak-blakan menilai aktivitas ekonomi global pada 2025 akan suram.
Keduanya menegaskan kondisi dunia saat ini tidak baik-baik saja, membuat prospek pertumbuhan ekonomi global akan berjalan stagnan pada tahun depan. Bahkan, berpotensi anjlok.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro menjelaskan penyebab sentimen negatif terhadap kondisi ekonomi global pada 2025 menyeruak di Kabinet Merah Putih.
Ia mengatakan, sentimen ini muncul saat para menteri keuangan dunia menghadiri acara pertemuan tahunan World Bank-IMF Annual Meeting pada Oktober 2024 silam.
Dalam pertemuan itu, Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill dan dan Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mewanti-wanti peserta rapat aktivitas ekonomi akan turun pada 2025.
“Kalau kita melihat level global growth sekarang yang di sekitar 3%, ya mereka mengatakan paling banter hanya di sekitar 3% itu. Bahkan mereka khawatir bisa di bawah 3%,” kata Bambang dalam program Cuap-Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Senin (23/12/2024).
Ketika prospek pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh di level 3%, Bambang menekankan, artinya masyarakat dunia sulit mengharapkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara pasar berkembang atau emerging markets, termasuk Indonesia, sulit tumbuh tinggi atau bahkan di atas 5%.
“Negara maju itu tumbuhnya di bawah 2%, emerging market ini yang tumbuhnya mendekati 5%, sehingga kalau dibuat rata-rata ya 3% itu sebagai pertumbuhan global,” tegas Bambang.
Masalahnya, prospek terbaru kondisi ekonomi global ini kata Bambang muncul sebelum jelasnya hasil Pemilu AS 2024. Maka, ketika hasil pemilu telah resmi keluar pada November 2024 bahwa Donald Trump kembali menang sebagai Presiden AS, prospek ekonomi global makin suram.
Trump yang sudah pernah menjadi Presiden AS pada 2017-2021 dikenal dengan kebijakan proteksionismenya, yang membuat aktivitas perdagangan dunia menjadi tidak sehat karena kebijakan pemberlakuan tarif perdagangan yang tinggi.
Yang menjadi masalah, kini kebijakan proteksionismenya makin menjadi, karena akan dikenakan terhadap aliansinya sendiri dalam kelompok perdagangan bebas North American Free Trade Agreement atau NAFTA, yakni Kanada dan Meksiko. Bukan lagi terhadap rival ekonominya, yaitu China.
“Dalam tanda petik kalau bahasa gaulnya, raja teganya itu adalah ketika dia secara tanpa alasan yang jelas ingin menerapkan tarif yang tinggi untuk Kanada dan Meksiko,” ungkap Bambang.
“Padahal kalau kita ingat spirit dari free trade atau globalisasi di masa lalu adalah dimulai dari North American Free Trade Agreement yang melibatkan Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada,” tegasnya.
Permasalahan itu, kata Bambang, menjadi penambah beban akumulasi yang membuat ekonomi global penuh ketidakpastian pada tahun depan. Sebab, perang bersenjata atau konflik geopolitik juga tak kunjung berakhir, seperti antara Rusia dan Ukraina, hingga Israel dengan Palestina, Suriah, dan Lebanon.
“Jadi barangkali itu yang membuat atau dirangkum sebagai kesimpulan 2025 sangat menantang. Sehingga wajar kalau ada yang mengatakan ini benar-benar gelap karena belum kelihatan di mana sinar terangnya yang bisa muncul karena belum ada memang,” ucap Bambang.
Kondisi ini terjadi saat negara-negara dunia baru saja ingin sembuh dari luka dalam akibat krisis Pandemi Covid-19. Hingga kini, saat terlepas dari Pandemi, dunia dihadapkan oleh tingginya tekanan inflasi, hingga membuat arah kebijakan suku bunga acuan bank sentralnya menjadi sangat tinggi.
“Tingkat bunga tinggi akhirnya agak melemahkan pertumbuhan ekonomi baik di negara-negara yang mengalami tingkat bunga tinggi itu maupun negara-negara yang menjadi partner dagang atau investasi dari negara-negara maju tersebut, sehingga akhirnya dampaknya global,” tutur Bambang.
(arj/haa)