Bisnis.com, JAKARTA – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus membantah jika partainya sebagai inisiator yang mengusulkan adanya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.
Menurutnya, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP.
Deddy menyebut, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode lalu. Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja).
“Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDIP, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah [era Presiden Jokowi] dan melalui kementerian keuangan,” katanya kepada wartawan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/12/2024).
Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi global dalam kondisi yang baik-baik saja.
Namun, kata Deddy, seiring dengan perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk mengkaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.
Kondisi tersebut diantaranya; seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar yang saat ini terus naik.
“Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Deddy menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% ini hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.
“Kami minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.
Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12% ini.
“Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru. Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silahkan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” pungkas anggota Komisi II DPR RI itu.