Rencana PPN 12 Persen, Mungkinkah Diikuti Perbaikan Tata Kelola Pajak?
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah menetapkan kebijakan menaikkan tarif
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Keputusan ini memicu berbagai pertanyaan mengenai kesiapan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola perpajakan, di samping derasnya aspirasi masyarakat yang keberatan dengan keputusan itu.
Dengan kondisi fiskal yang berat dan tantangan ekonomi global, apakah kebijakan ini benar-benar dapat diimplementasikan secara efektif?
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai peningkatan tarif PPN merupakan langkah yang dapat dimengerti, meskipun kurang ideal.
Situasi fiskal yang menekan saat ini menjadi alasan utama kebijakan ini diterapkan. Namun, faktor-faktor seperti
tax ratio
yang rendah, basis
pajak
yang sempit, dan maraknya
korupsi
di sektor pajak tidak bisa diabaikan.
“Rendahnya
tax ratio
kita lebih disebabkan oleh
tax base
yang sempit, korupsi sektor pajak yang
prevalent
, dan ketaatan membayar pajak yang rendah. Pertimbangan kenaikan ini lebih untuk mengamankan fiskal kita, terutama menghadapi situasi berat di 2025 dan 2026,” ujar Wijayanto di Jakarta, Rabu (19/12/2024), seperti dikutip dari
Antara
.
Kenaikan PPN tentu berdampak pada daya beli masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang melambat, kebijakan ini berpotensi menekan konsumsi rumah tangga.
Menurut Wijayanto, pemberian insentif oleh pemerintah dapat membantu menjaga daya beli. Namun, efektivitas insentif bergantung pada pelaksanaan di lapangan.
“Semakin kompleks insentif, semakin rumit implementasinya. Selain itu, insentif tidak efektif jika target penerima tidak memahaminya. Pemerintah perlu mengkomunikasikan kebijakan ini dengan baik kepada pengusaha dan masyarakat agar mereka tergerak memanfaatkan insentif,” ujar Wijayanto.
Soal sosialisasi kebijakan ini secara optimal oleh pemerintah, Wijayanto menilai selama ini komunikasi pemerintah dinilai masih belum memadai, terutama dalam menjelaskan manfaat insentif kepada publik.
Pemerintah berargumen ekonomi tetap stabil ketika tarif PPN naik menjadi 11 persen pada 2022. Namun, menurut Wijayanto, kondisi saat ini jauh berbeda.
Pada 2022, perekonomian sedang dalam fase pemulihan pasca-pandemi COVID-19 dengan lonjakan permintaan belanja.
“Saat ini, ekonomi dunia melambat, daya beli masyarakat lemah, dan dampak politik global seperti kemenangan Donald Trump di Pilpres AS bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia. Insentif sangat diperlukan dalam situasi ini,” ucap Wijayanto.
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan terkait keadilan. Menurut Wijayanto, kebijakan kenaikan PPN dan penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) cenderung menguntungkan pemerintah dan pekerja, tetapi memberatkan pengusaha.
“Berbagai stimulus yang diluncurkan belum memberikan manfaat langsung bagi pengusaha. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang lebih pro pengusaha. Jangan sampai mereka patah arang dan enggan berinvestasi,” ucap Wijayanto.
Jika pengusaha domestik kehilangan semangat untuk berinvestasi, bagaimana mungkin investor asing tertarik menanamkan modal di Indonesia?
Wijayanto menilai, kenaikan tarif PPN hanya akan efektif jika disertai perbaikan menyeluruh di sektor perpajakan. Tanpa perbaikan pada pengelolaan pajak, termasuk pengawasan dan penanganan korupsi, peningkatan tarif bisa jadi hanya akan menambah beban masyarakat tanpa memperbaiki kondisi fiskal.
Pertanyaan ini perlu dijawab sebelum kebijakan PPN 12 persen resmi diberlakukan. Jika tidak, risiko penurunan daya beli dan keengganan investasi bisa semakin membebani perekonomian nasional.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.