Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Satu Lagi Sekolah di Australia yang Menutup Program Bahasa Indonesia

Satu Lagi Sekolah di Australia yang Menutup Program Bahasa Indonesia

Baca beritanya dalam Bahasa Inggris

Salah satu sekolah paling elite di Darwin yang bernama Essington akan menutup program Bahasa Indonesia.

Kepada ABC pihak sekolah mengatakan, “setelah sekian lama mengajarkan Bahasa Indonesia”, mereka akan menutup programnya pada akhir semester satu pada tahun 2025.

“Keputusan untuk menutup program Bahasa Indonesia didasarkan pada tinjauan menyeluruh terhadap prioritas kurikulum, masukan orang tua, dan keterlibatan siswa,” kata juru bicara sekolah tersebut.

“Kami akan berkonsultasi dengan pihak keluarga pada awal 2025 untuk menjajaki bahasa yang diminati. Meski bahasa Indonesia jadi pilihan yang berharga, Essington tetap berkomitmen untuk membekali siswa dengan kemampuan global.”Luke Gosling, salah satu anggota parlemen lokal, mengatakan “jadi sebuah kemunduran besar bagi pemerintah dan sekolah-sekolah swasta yang mengabaikan tetangga kita yang besar dan secara strategis penting.”

ABC menemukan para orang tua belum dikonsultasikan tentang penutupan program bahasa Indonesia dan bahasa pengganti juga belum ditawarkan.

“Program kami akan terus mengedepankan keterampilan yang mempersiapkan siswa untuk meraih kesuksesan di dunia yang saling terkoneksi,” kata juru bicara Essington.

“Kami memahami perubahan bisa menjadi tantangan dan kami berkomitmen untuk mendukung siapa pun yang terdampak oleh transisi ini.”

Minat bahasa Indonesia menurun terus menurun

Penutupan program Bahasa Indonesia di Essington terjadi setelah Scotch Collge, salah satu sekolah paling elit di Melbourne juga melakukannya awal tahun ini.

Bayu Prihantoro, yang tiba di Melbourne pertengahan 2023 untuk bekerja sebagai asisten guru Bahasa Indonesia di Scotch, mengatakan murid-muridnya senang belajar Bahasa Indonesia.

“Bisa dibilang 80, 90 persen anak-anak antusias dan senang belajar Bahasa Indonesia, terutama saat penutur asli datang,” katanya kepada ABC.

“Tapi tiba-tiba, program itu dihapus. Dihapus dari kurikulum.”

ABC sudah mencoba menghubungi Scotch College untuk dimintai tanggapan.

Atase pendidikan dan kebudayaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra, Mukhamad Najib, berharap pemerintah Australia “lebih serius dalam mengembangkan pembelajaran bahasa negara Asia, khususnya Bahasa Indonesia.”

Ketika ditanya oleh ABC apakah Pemerintah Indonesia perlu berinvestasi lebih banyak dalam mempromosikan bahasanya di luar negeri, Najib mengatakan beberapa sekolah menutup kelas Bahasa Indonesia karena “kurangnya anggaran”.

“Nah ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah Australia.”

“Kami tidak mungkin menjadi faktor dominan dalam penguatan pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia, pemerintah Australia harus berperan lebih besar lagi dengan mengalokasikan anggaran untuk pembelajaran Bahasa Indonesia,” katanya.

Sebagai anggota parlemen yang bisa berbahasa Indonesia, Peter mengatakan ia sudah menyampaikan masalah ini ke tingkat pemerintah pusat Australia.Menurutnya negara bagian Australia Barat memiliki model yang sukses dengan melibatkan pengajar yang bisa diterapkan di Kawasan Australia Utara.

“Saya bekerja dengan pihak [pemerintah] federal, Kawasan Australia Utara, dan Indonesia untuk mengisi kekurangan guru di Kawasan Australia Utara,” ujarnya.

Alistair Welsh, dosen Bahasa Indonesia di Deakin University Melbourne, mengatakan keputusan untuk mengakhiri program Bahasa Indonesia pada dasarnya bersifat “ideologis.”

“Alasan yang sering kita dengar dari ditutupnya program Bahasa Indonesia adalah karena mereka tidak mampu mempekerjakan staf,” katanya.

“Yang mengkhawatirkan, sekarang banyak juga sekolah yang memiliki staf tapi tetap menutup programnya.”

“Saya mendengar kasus baru-baru ini di mana mereka mengganti Bahasa Indonesia dengan bahasa Prancis … ini adalah keputusan yang didasarkan ideologi.”

Presiden Asosiasi Guru Bahasa Indonesia Victoria (VILTA) Silvy Wantania mengatakan menurunnya minat untuk belajar Bahasa Indonesia adalah karena orang Australia pada umumnya masih menganggap Indonesia kurang penting dibandingkan negara-negara Barat, atau bahkan negara-negara Asia lainnya.

“[Banyak orang Australia] mengatakan ‘Saya orang Asia, mengapa saya harus belajar bahasa Asia?'” ujar Silvy, yang juga bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di Melbourne.

“Banyak orang tidak menganggap Indonesia penting, mereka cuma suka ke Bali untuk berlibur.”

Minat pariwisata ke Indonesia bagi orang Australia saat ini berada pada titik tertinggi sepanjang masa.

Indonesia mengalahkan Selandia Baru sebagai tujuan pariwisata warga Australia selama 12 bulan terakhir hingga Juni 2024.

Tapi, penurunan minat belajar Bahasa Indonesia terlihat di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Australia.

Jumlah universitas Australia yang mengajarkan Bahasa Indonesia turun dari yang tadinya 22 pada tahun 1992 menjadi 12 pada tahun 2022.

‘Indonesia tidak akan hilang’

Bayu mengatakan ia khawatir tren sekolah yang berhenti mengajarkan Bahasa Indonesia akan terus berlanjut.

Ia memperingatkan kendala utama di Australia adalah materi pelajaran yang sudah ketinggalan zaman.

“Buku pelajaran kami tidak memuat informasi terbaru tentang Indonesia,” katanya.

“Indonesia sudah berkembang dengan sangat pesat sekarang, tetapi buku-buku masih menggambarkan Indonesia pada tahun 2005.”

Najib dari KBRI Canberra punya sentimen yang sama soal ini.

“Guru dan ahli pendidikan di Australia harus duduk bersama, menyusun strategi, dan membuat buku pelajaran yang sesuai dengan kondisi di Australia,” katanya.

Juru bicara Departemen Pendidikan Australia mengatakan pemerintah “berkomitmen untuk mendukung pengajaran dan penggunaan bahasa di sekolah Australia dan mengakui manfaat kognitif, akademis, dan budaya bagi siswa dalam mempelajari bahasa kedua”.

Mereka mengatakan kurikulum Australia yang direvisi untuk bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, sudah disetujui oleh menteri pendidikan pada Januari 2023.

“Otoritas pendidikan, pemimpin sekolah, guru, dan masyarakat menentukan bahasa mana yang diajarkan, dari 14 bahasa pilihan, tergantung pada kebutuhan dan konteks setempat,” kata juru bicara tersebut.

Silvy mengatakan materi pengajaran Bahasa Indonesia harusnya bukan hanya dari buku pelajaran, melainkan mengintegrasikan aspek budaya pop Indonesia seperti musik dan film.

Indonesia saat ini menjadi negara dengan penghasilan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, kawasan di mana Australia sedang mencoba melirik agar tidak ketergantungan China.

Namun, investasi Australia di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan investasi yang dilakukan oleh Singapura, China, Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Amerika Serikat.

Alistair mengatakan persepsi publik yang negatif terhadap Indonesia, yang dipicu oleh peristiwa seperti Bom Bali pada tahun 2002 dan Bali Nine pada tahun 2005, menjadi penghambat pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia.

“Dilihat dari jauh, mudah untuk menjelek-jelekkan pihak lain,” katanya.

“Namun, Indonesia tidak akan hilang begitu saja.

“Mereka adalah, dan akan selalu, menjadi salah satu tetangga terdekat kita dan salah satu negara terbesar di dunia.”

Laporan tambahan oleh Erwin Renaldi