Selain itu, pemerintah diharapkan dapat memperkuat penerimaan negara, terutama melalui optimalisasi pajak dan efisiensi belanja. Dengan pengelolaan yang hati-hati, IKN bisa tetap menjadi solusi strategis tanpa memberikan beban berlebihan pada keuangan negara.
Mempertimbangkan berbagai hal, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Jakarta, Indonesia menegaskan pembangunan Ibu Kota Negara baru tidak layak secara ekonomis dan tidak sehat secara fiskal. Pertama dan mendasar, pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara terjadi di tengah penurunan pendapatan negara akibat Pandemi COVID-19. Rasio pajak menurun, sedangkan rasio utang meningkat. Kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi, tidak pernah lebih dari 5,5%.
Pertumbuhan tertinggi pada 2022 sebesar 5,3% dan terendah pada 2020 sebesar -2,1%. Ini menunjukkan negara belum memiliki dasar ekonomi kuat untuk mengakselerasi pertumbuhan. Ketiga, pembangunan fisik IKN diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar Rp 466 triliun yang ditanggung ke dalam tiga skema.
Antara lain melalui APBN sebesar Rp 89,4 triliun (19,2%), Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha alias KPBU dan swasta sebesar Rp 253,4 triliun (54,4%), dan anggaran dari BUMN serta Badan Usaha Milik Daerah sebesar Rp 123,2 triliun (25,4%).
“Mulanya skema kedua direncanakan sebagai penopang terbesar, tetapi laporan mengungkap bahwa SoftBank, perusahaan multinasional asal Jepang sebagai investor utama proyek Ibu Kota Negara, mengundurkan diri pada Maret 2022,” jelas Direktur Eksekutif Celios, BhimaYudhistira.