Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Bagaimana Pemberontak Suriah HTS Gulingkan Assad Hanya dalam 11 Hari?

Bagaimana Pemberontak Suriah HTS Gulingkan Assad Hanya dalam 11 Hari?

Jakarta, CNN Indonesia

Pemerintahan panjang Presiden Suriah Bashar Al Assad resmi berakhir pada Minggu (8/12) usai kelompok pemberontak melancarkan serangan signifikan dalam waktu 11 hari atau kurang dari dua pekan.

Pemberontakan itu dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah organisasi yang dikepalai Abu Mohammed al-Julani. Ia merupakan mantan anggota kelompok ekstremis Al Qaeda yang pernah membawa kelompoknya menjalin kerja sama dengan Al Qaeda dan ISIS.

Bagaimana kelompok HTS memimpin pemberontakan hingga menggulingkan rezim Al Assad dalam waktu cepat?

Hayat Tahrir Al Sham (HTS) telah memimpin pemberontakan terhadap rezim al-Assad sejak 27 November lalu. Serangan itu dimulai di Idlib, yang tiga hari kemudian dilanjutkan di Aleppo.

HTS terus merebut wilayah-wilayah yang dikuasai rezim al-Assad dalam kurun waktu itu hingga mereka berhasil merebut Damaskus pada 8 Desember. Damaskus merupakan wilayah yang menjadi tempat tinggal Presiden Bashar al-Assad.

Al Assad melarikan diri dari Damaskus ketika pasukan pemberontak memasuki kota itu dan membuat para pemberontak tak perlu repot-repot bertempur.

Menurut para analis, kaburnya al-Assad dari Suriah ini bukan tanpa sebab. Pasalnya, Suriah tengah menghadapi masalah ekonomi parah, ditambah Rusia dan Iran tak lagi memberikan pasokan pertahanan bagi rezim Assad sebanyak dulu.

Rusia dan Iran merupakan negara-negara yang sangat mendukung pemerintahan Bashar al-Assad. Kendati begitu, Rusia belakangan terjebak dalam invasinya di Ukraina, serta Iran dan milisi Hizbullah Lebanon mulai goyah gegara serangan Israel.

Mereka tak bisa lagi fokus membantu pertahanan rezim Al Assad.

Di tengah situasi ini, Hayat Tahrir al-Sham membuat keputusan. Mereka memimpin pemberontakan setelah selama ini menyatukan nyaris seluruh kelompok oposisi, milisi, dan warga sipil di Suriah untuk melawan bersama sang Presiden.

Suriah telah dilanda perang saudara selama 13 tahun sejak protes damai 2011. Saat itu, warga dan oposisi ingin pemerintah diganti namun justru menghadapi kekerasan dari rezim Al Assad.

Perang saudara Suriah telah menewaskan ratusan ribu orang dan membuat jutaan orang mengungsi. Negara-negara lain bahkan ikut mengintervensi seperti Iran, Rusia, Amerika Serikat, Arab Saudi, serta Turki.

Kondisi ini membuat perang saudara Suriah semakin runyam hingga akhirnya Hayat Tahrir al-Sham memutuskan untuk menyatukan seluruh elemen penentang Al Assad demi menyudahi perang sia-sia tersebut.

Dilansir dari Al Jazeera, HTS telah bersekutu dengan sejumlah faksi antara lain Front Nasional untuk Pembebasan, Ahrar al-Sham, Jaish al-Izza, Gerakan Nour al-Din Al Zenki, serta faksi-faksi yang didukung Turki yang berada di bawah payung Tentara Nasional Suriah.

Persekutuan ini dibangun bukan dalam waktu sebentar. HTS telah menjalin hubungan dengan mereka selama lebih dari satu tahun terakhir.

Bersambung ke halaman berikutnya…

Dilansir dari BBC, HTS memulai beberapa reformasi usai menghadapi kritik karena dianggap menghindari pertempuran melawan pasukan pemerintah.

HTS merupakan kekuatan dominan di Idlib. Namun kelompok ini disebut-sebut bersikap otoriter layaknya rezim al-Assad dengan menekan perbedaan pendapat serta membungkam para kritikus. Banyak yang akhirnya menyebut HTS sebagai pengikut setia Al Assad.

Merespons kritik ini, HTS pun memulai reformasi. Mereka membubarkan atau mengganti nama pasukan keamanan kontroversial yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mendirikan “Departemen Pengaduan” untuk memungkinkan warga mengajukan aduan terhadap mereka.

HTS dan sayap sipilnya, Pemerintah Keselamatan Suriah (SG), kemudian berusaha keras menampilkan citra modern dan moderat untuk memenangkan hati masyarakat dan komunitas internasional.

Mereka mengusung persatuan di bawah kepemimpinan tunggal dan pada saat yang sama, mempertahankan identitas Islamis guna memuaskan kelompok garis keras di wilayah yang dikuasai pemberontak dan jajaran HTS.

Pemimpin HTS, Abu Mohammed Al Julani, dalam wawancaranya dengan The New York Times mengatakan bahwa tujuan utama HTS yakni “membebaskan Suriah dari rezim yang menindas ini.”

Kepemimpinan HTS di bawah Al Julani sedikit banyak telah berhasil memikat masyarakat dan oposisi rezim karena ia secara tak langsung mengubah gerakan ekstremis seperti Al Qaeda dan ISIS menjadi tak lagi efektif.

Al Julani sendiri merupakan mantan anggota Al Qaeda. Menurut laporan media Arab dan pejabat AS, ia sempat menghabiskan beberapa tahun di penjara Amerika di Irak.

Pada 2011, ia membentuk Front Al Nusra, sebuah faksi rahasia yang terkait dengan Negara Islam Irak (ISI). Pada 2012, faksi itu berubah menjadi pasukan tempur Suriah yang menonjol, yang menyembunyikan hubungannya dengan ISI dan Al Qaeda.

Ketegangan kemudian terjadi pada 2013 kala ISI secara sepihak mendeklarasikan penggabungan dengan Front Nusra dan mendeklarasikan pembentukan ISIS.

Al-Julani tak ingin terlibat kekerasan seperti ideologi ISI sehingga berpura-pura berjanji kepada Al Qaeda untuk menjadikan Front Nusra sebagai cabangnya di Suriah.

Ia kemudian membawa Front Nusra ke Suriah sekitar awal perang saudara. Kelompok ini akhirnya berkembang menjadi Hayat Tahrir al-Sham yang menekankan pendekatan jihad yang lebih pragmatis.