TRIBUNNEWS.COM – Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melancarkan serangkaian udara, membombardir sejumlah wilayah di Suriah termasuk Ibu Kota Damaskus, Senin (9/12/2024).
Tak hanya itu serangan juga dilaporkan menyasar gudang senjata milik pasukan Suriah yang berada di Provinsi Daraa, sekitar 70 kilometer dari selatan Damaskus.
Hal itu turut dikonfirmasi media lokal Qatar yang melaporkan telah mendengar sebuah ledakan di sekitar area gudang senjata serta pusat penelitian milik Suriah di Distrik Kafr Sousa, Damaskus.
Adapun gudang senjata itu digunakan pasukan Suriah untuk menyimpan data sensitif militer, peralatan dan bagian-bagian peluru kendali.
Hingga saat ini belum ada kabar mengenai korban luka dan korban tewas imbas serangan tersebut.
Namun, imbas serangan brutal Israel, Kantor Bea Cukai yang bersebelahan dengan kantor intelijen militer mengalami kerusakan besar.
“Israel telah melancarkan serangan udara terhadap depot senjata dan posisi milik rezim yang sudah tidak berkuasa dan kelompok yang didukung Iran di provinsi Deir Ezzor bagian timur,” kata Rami Abdel Rahman yang mengepalai Syrian Observatory for Human Rights mengutip dari Barrons.
Banyak pihak berspekulasi bahwa serangan sengaja dilakukan Israel untuk mengambil alih wilayah Suriah pasca kekuasaan rezim Bashar al-Assad yang telah memimpin Suriah selama 50 tahun terakhir dilengserkan secara paksa oleh kelompok pemberontak.
IDF Ambil Alih Golan
Selain melakukan serangan militer IDF juga diutus PM Netanyahu untuk menggelar operasi baru di perbatasan Suriah dan Dataran Tinggi Golan.
Tujuannya untuk mengambil alih kekuasaan di zona penyangga demiliterisasi di Dataran Tinggi Golan, Suriah, sebagaimana dilansir BBC International.
Netanyahu mengatakan runtuhnya rezim Assad adalah “hari bersejarah di Timur Tengah”.
Ini lantaran runtuhnya rezim Assad membuat perjanjian Israel dan Suriah tahun 1974 ikut “runtuh”, memungkinkan Israel untuk bergerak cepat mengambil alih Dataran Golan.
“Pasukan Pertahanan Israel ditugaskan untuk memasuki zona penyangga dan posisi komando di dekatnya yang merupakan dari bagian Golan yang diduduki Israel,” kata Netanyahu dikutip dari BBC International.
“Kami tidak akan membiarkan kekuatan musuh mana pun muncul di perbatasan kami,” imbuhnya.
Sabotase seperti ini bukan kali pertama yang dilakukan Israel, negara Zionis tersebut sebelumnya pernah merebut Golan dari Suriah pada tahap akhir Perang Enam Hari tahun 1967 dan mencaploknya secara sepihak pada tahun 1981.
Meski sebagian Golan berhasil diduduki Israel, tindakan tersebut tidak diakui secara internasional.
Israel Klaim Bantu PBB Tangkis Serangan di Suriah
Untuk merespons munculnya isu negatif yang menyebut Israel telah melakukan pencaplokan wilayah di Suriah, pemerintah Netanyahu langsung buka suara.
Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar di media sosial X menjelaskan bahwa keberadaan angkatan bersenjata di zona penyangga Suriah bertujuan untuk menjaga pasukan penjaga perdamaian (PBB) di daerah tersebut”.
Hal serupa juga dilontarkan juru bicara tentara Israel yang mengumumkan pengerahan pasukan di sana, dengan alasan “kemungkinan masuknya individu bersenjata ke zona penyangga”.
“Menyusul kejadian baru-baru ini di Suriah… IDF telah mengerahkan pasukan di zona penyangga dan di beberapa tempat lain yang diperlukan untuk pertahanannya, untuk menjamin keselamatan masyarakat di Dataran Tinggi Golan dan warga Israel,” kata sebuah pernyataan militer.
Israel Terapkan Jam Malam
Setelah mengambil alih Dataran Tinggi Golan, militer Israel langsung memberlakukan jam malam bagi penduduk lima kota Suriah.
“Jam malam akan berlaku pukul 16.00 hingga 05.00 setiap hari, mulai Minggu (8/12/2024).
Adapun peraturan itu diterapkan di 5 kota yang berada di zona penyangga demiliterisasi Dataran Tinggi Golan yang kini berada di tangan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
“Demi keamanan Anda, Anda harus tinggal di rumah dan tidak keluar sampai pemberitahuan lebih lanjut,” Letnan Kolonel Avichay Adraee, juru bicara militer Israel, dilansir dari AFP.
Israel berdalih penerapan jam malam bertujuan untuk mengkonsolidasikan kendali saat pemberontak merebut Suriah.
Namun, banyak pihak menilai kebijakan ini diberlakukan demi memperkuat posisi Israel setelah jatuhnya rezim Presiden Bashar al-Assad, yang menandai perubahan dramatis dalam konflik Suriah.
(Tribunnews.com / Namira Yunia)