Tangkapan layar – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi saat menyampaikan pernyataan Istana di Jakarta, Rabu (4/12/2024), terkait klarifikasi atas pernyataan viral pejabat Utusan Preseiden Gus Miftah kepada pedagang es teh bernama Son Haji yang sempat viral di media sosial. (ANTARA/Andi Firdaus)
Memperkuat komunikasi Pemerintah, membangun stabilitas sosial
Dalam Negeri
Editor: Novelia Tri Ananda
Minggu, 08 Desember 2024 – 11:13 WIB
Elshinta.com – Komunikasi yang konsisten antara pemerintah dan rakyat adalah pilar utama demokrasi modern. Di negara-negara demokratis, komunikasi yang jelas, terarah, dan transparan menjadi kunci dalam membangun kepercayaan masyarakat, sekaligus menjaga stabilitas sosial.
Hanya saja, di Indonesia saat ini, komunikasi antara pemerintah dan rakyat seringkali menjadi sumber kebingungan daripada solusi. Pernyataan yang saling bertentangan dari pejabat publik menunjukkan lemahnya koordinasi di tingkat pemerintah, yang secara langsung memengaruhi kredibilitas pemerintah di mata masyarakat.
Masalah komunikasi ini tampak semakin parah dengan kehadiran media sosial sebagai platform komunikasi para pejabat publik. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk menjangkau masyarakat dengan lebih efektif, sering disalahgunakan.
Tidak sedikit pejabat yang mengungkapkan pandangan pribadi di media sosial, tanpa mengklarifikasi apakah pernyataan tersebut merupakan kebijakan resmi atau opini pribadi. Akibatnya, masyarakat sulit membedakan antara kebijakan resmi pemerintah dan komentar informal pejabat.
Ketidaksinkronan ini jauh berbeda dibandingkan dengan masa Orde Baru, ketika komunikasi pemerintah lebih terpusat dan terkontrol. Pada masa itu, Menteri Penerangan berfungsi sebagai satu-satunya juru bicara resmi pemerintah, memastikan bahwa semua informasi telah dikonsolidasikan, sebelum diumumkan kepada publik.
Harmoko, Menteri Penerangan era Orde Baru, meskipun kerap dikritik karena pendekatannya yang searah, mampu menghadirkan kepastian dalam komunikasi pemerintah. Masyarakat tahu bahwa informasi yang disampaikan berasal dari sumber resmi dan dapat diandalkan.
Sejak era reformasi, pendekatan ini berubah secara drastis. Setiap pejabat pemerintah, termasuk para menteri, memiliki kebebasan untuk berbicara kepada media tanpa koordinasi yang memadai. Bahkan, saat ini, Presiden Prabowo Subianto beberapa kali harus meluruskan pernyataan dari para menterinya yang saling bertentangan atau tidak sesuai dengan arah kebijakan resmi pemerintah.
Salah satu contohnya adalah pernyataan Menteri Koordinator bidang Hukum dan HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan terkait pelanggaran HAM masa lalu.
Yusril Ihza Mahendra, yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan menyebut peristiwa Mei 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat. Pernyataan ini memicu kritik tajam dari aktivis HAM dan keluarga korban, yang merasa pernyataan itu menghambat proses pengungkapan kebenaran dan keadilan.
Komnas HAM pun menegaskan bahwa pemerintah seharusnya mendukung penyelesaian kasus tersebut secara transparan. Hal ini menciptakan polemik yang memperkeruh citra pemerintah dalam mengelola isu HAM sensitif di awal masa jabatan mereka.
Dalam konteks ini, teori komunikasi kebijakan dari Harold Lasswell menjadi sangat relevan. Lasswell menyatakan bahwa tujuan utama komunikasi pemerintah adalah memberikan informasi yang jelas untuk membangun pemahaman dan kepercayaan. Ketika komunikasi pemerintah tidak konsisten, masyarakat kehilangan arah dan kepercayaan terhadap pemerintah pun terkikis.
Denis McQuail, pakar komunikasi massa, menambahkan bahwa pesan dari otoritas publik harus kredibel dan bebas dari kontradiksi. Ketidakhati-hatian dalam menyampaikan informasi, terutama di era digital ini, dapat memperbesar keresahan sosial dan memperburuk citra pemerintah.
Lemahnya koordinasi komunikasi ini tidak hanya berdampak pada masyarakat umum, tetapi juga pada dunia internasional. Investor asing kerap mengamati komunikasi pemerintah sebagai indikator stabilitas kebijakan.
Sebagai contoh, menurut laporan Bank Dunia tahun 2023, Indonesia sempat mengalami penurunan investasi langsung sebesar 8 persen akibat kekhawatiran atas inkonsistensi kebijakan di bidang perpajakan yang diperburuk oleh pernyataan kontradiktif dari pejabat pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang tidak konsisten dapat berdampak signifikan pada ekonomi nasional.
Di sisi lain, lemahnya komunikasi ini juga mencerminkan kurangnya para pejabat dalam memahami pentingnya strategi komunikasi yang terarah. Tidak jarang para pejabat berbicara tentang isu-isu yang sebenarnya tidak mereka kuasai secara mendalam. Stephen P. Robbins, seorang pakar manajemen, menegaskan bahwa “Komunikasi yang buruk tidak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga membuka peluang untuk salah tafsir yang berbahaya”.
Salah tafsir ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga berdampak pada citra Indonesia di mata dunia. Contoh dalam kasus ekonomi, dimana pemerintah menghadapi tekanan atas kebijakan perpajakan baru, seperti rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen dan implementasi program Tapera.
Kebijakan ini, meski bertujuan untuk memperkuat pendapatan negara, memunculkan kritik dari kelas menengah yang merasa terbebani. Komunikasi yang kurang efektif dalam menjelaskan manfaat program ini memunculkan persepsi negatif di masyarakat. Untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah harus memprioritaskan reformasi komunikasi di berbagai tingkatan. Salah satu langkah strategis adalah mematuhi norma dan etika berkomunikasi yang baik.
Pejabat publik harus menanamkan nilai-nilai kejujuran, konsistensi, dan akuntabilitas dalam setiap pernyataan yang mereka sampaikan. Kejujuran dalam komunikasi menunjukkan integritas, sedangkan konsistensi antarpejabat menciptakan kejelasan bagi masyarakat. Kesopanan dan keterbukaan untuk mendengarkan aspirasi rakyat juga penting untuk menciptakan dialog yang konstruktif.
Pemerintah juga dapat memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan transparansi dan konsistensi komunikasi. Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah membangun platform resmi yang menjadi rujukan utama masyarakat mengenai kebijakan pemerintah.
Platform ini dapat diakses oleh semua pihak, termasuk media, sehingga informasi yang disampaikan lebih terstruktur dan terjamin keakuratannya. Selain itu, platform ini juga dapat menjadi kontrol internal bagi pejabat sebelum mereka memberikan pernyataan kepada publik.
Selain itu, pelatihan dan standar komunikasi bagi pejabat publik harus menjadi prioritas. Pejabat perlu memahami bahwa komunikasi bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga membangun kepercayaan dan opini publik yang positif. Mengadopsi praktik terbaik dari negara-negara lain bisa menjadi langkah yang bijaksana. Singapura, misalnya, memiliki sistem komunikasi terpusat di mana juru bicara pemerintah menjadi satu-satunya sumber informasi resmi.
Sementara itu, di Jerman, setiap pernyataan menteri selalu dirujuk pada kebijakan yang telah disepakati bersama oleh kanselir. Pada akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat bergantung pada kemampuan negara untuk berbicara dengan satu suara yang terarah dan konsisten.
Jika pemerintah mampu memperbaiki pola komunikasi mereka, Indonesia tidak hanya akan mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, tetapi juga memperkuat posisinya di panggung internasional sebagai negara yang stabil dan terpercaya. Langkah-langkah sederhana, seperti membangun platform informasi resmi, melatih pejabat publik dalam berkomunikasi, dan menegakkan disiplin komunikasi di tingkat kabinet, dapat menjadi awal dari perubahan besar yang sangat dibutuhkan.
Dengan demikian, komunikasi yang terarah dan konsisten akan menjadi pilar utama untuk membangun stabilitas sosial dan demokrasi yang lebih kokoh di Indonesia.
Sumber : Antara