TRIBUNNEWS.COM – Rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah sepertinya berakhir pada hari Minggu (8/12/2024) ini setelah pemberontakan yang dipimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) Suriah mengumumkan penggulingan kekuasaan melalui siaran televisi nasional.
Pengumuman tersebut, pun mengakhiri dinasti keluarga Assad yang telah berkuasa di Suriah selama 50 tahun terakhir.
“Kami merayakan bersama rakyat Suriah berita tentang pembebasan para tahanan kami, pembebasan rantai mereka, dan pengumuman berakhirnya era ketidakadilan di penjara Sednaya,” kata seorang pemberontak kepada Reuters, merujuk pada penjara militer besar di pinggiran Damaskus tempat pemerintah Suriah menahan ribuan orang.
Saat warga Suriah mengungkapkan kegembiraan atas tergulingnya rezim Assad, hal berbeda dirasakan oleh sosok Perdana Menteri Suriah saat ini, Mohammad Ghazi al-Jalali.
Jalali mengaku, dirinya khawatir terkait kekosongan pemerintahan pasca jatuhnya rezim Assad di Suriah.
Sosok yang ditunjuk sebagai Perdana Menteri Suriah pada 14 September 2024 lalu ini, mengatakan negara harus segera mengadakan pemilihan umum (pemilu) untuk mengisi kekosongan tersebut.
Guna mengisi pemerintahan yang ada, Jalali menilai pemilu yang bersifat bebas agar rakyat bisa memilih siapa pun pihak yang mereka inginkan untuk memerintah Suriah.
Namun demikian, Jalali menilai langkah tersebut adalah hal yang rumit, mengingat Suriah bakal memiliki banyak kepentingan kompleks yang berbenturan pasca rezim Assad runtuh.
Jalali mengatakan, kini banyak kelompok yang akan mencoba mengisi kekosongan tersebut, mulai dari kubu Islamis hingga kubu yang memiliki hubungan dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Turki.
Dikutip dari Reuters, Jalali juga mengatakan bahwa ia telah berhubungan dengan komandan pemberontak Abu Mohammed al-Golani untuk membahas penyelenggaraan pemilu dalam periode transisi saat ini.
Jalali menilai, koordinasi dengan militer ini sangat dibutuhkan untuk yang menandai perkembangan penting dalam upaya membentuk masa depan politik Suriah pasca rezim Assad terguling.
Israel Dibikin Was-was
Aksi pemberontak yang berhasil menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah menarik perhatian Israel. Untuk mencegah konflik yang terjadi di Suriah meluas ke wilayahnya,
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pun mengambil langkah baru terkait keamanan di perbatasan.
IDF mengumumkan telah memperketat pengamanan di Dataran Tinggi Golan, sebuah wilayah yang menjadi zona penyangga antara Israel dan Suriah.
Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengantisipasi pergerakan pemberontak Suriah yang mungkin akan menyerang Israel setelah jatuhnya rezim Assad.
Dalam pernyataan yang diterbitkan pada Minggu (8/12/2024), IDF menegaskan bahwa mereka telah menempatkan pasukan di zona penyangga serta beberapa area lainnya yang dianggap perlu untuk menjaga keamanan wilayah Dataran Tinggi Golan dan warga Israel.
Menurut IDF, langkah tersebut diambil setelah evaluasi terbaru mengenai situasi di Suriah, dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya serangan dari pemberontak Suriah yang bisa memasuki zona penyangga.
Dalam pernyataannya, IDF juga menegaskan bahwa mereka tidak terlibat dalam konflik yang sedang berlangsung di Suriah dan tidak mendukung pihak mana pun.
“Kami menegaskan bahwa IDF tidak campur tangan dalam peristiwa yang terjadi di Suriah,” kata militer Israel.
(Tribunnews.com/Bobby)