TRIBUNNEWS.COM – Damaskus diperkirakan akan jatuh, menurut tiga pejabat AS yang berbicara kepada CBS News, setelah pemberontak Suriah mulai mengepung ibu kota dalam serangan cepat.
Tiga pejabat AS tersebut mengatakan bahwa kekuasaan keluarga Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang dimulai pada tahun 1971, tampaknya akan segera berakhir.
Bashar al-Assad juga dikabarkan telah meninggalkan Suriah, meski kantornya membantah kabar tersebut.
Pemberontak Suriah mengklaim telah merebut kota Homs, salah satu kota utama di Suriah tengah, pada Minggu (8/12/2024) dini hari.
Pemberontak mencapai pinggiran Kota Damaskus pada hari Sabtu setelah sebelumnya berhasil menguasai beberapa kota besar di Suriah.
Rami Abdurrahman, pemimpin Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris, sebuah lembaga pemantau perang oposisi, mengatakan bahwa pemberontak sekarang aktif di pinggiran kota Damaskus, seperti Maadamiyah, Jaramana, dan Daraya.
Ia menambahkan bahwa pasukan oposisi juga bergerak dari timur Suriah menuju pinggiran Damaskus di Harasta pada hari Sabtu.
Seorang komandan pemberontak, Hassan Abdul-Ghani, memposting di aplikasi perpesanan Telegram bahwa pasukannya telah memulai “tahap akhir” serangan mereka dengan mengepung Damaskus.
Orang-orang bersenjata di jalanan Hama. Setelah mengambil kendali atas sejumlah kota dan distrik strategis, termasuk Hama dan Homs, koalisi faksi oposisi anti-rezim Pemerintah Suriah, Sabtu (7/12/2024) mulai mengepung ibu kota, Damaskus. (khaberni/HO)
Ia juga menambahkan bahwa pemberontak bergerak dari selatan Suriah menuju Damaskus.
Pada Minggu dini hari waktu setempat, Ghani menyatakan bahwa pasukan pemberontak telah “sepenuhnya membebaskan” Homs, kota terbesar ketiga di Suriah, sebagaimana dilaporkan oleh Reuters.
Pasukan pemerintah diduga telah meninggalkan kota tersebut.
Jika pemberontak benar-benar menguasai Homs, mereka akan memutus jalur komunikasi antara Damaskus, pusat kekuasaan Bashar al-Assad, dengan wilayah pesisir utara yang merupakan basis pendukung presiden.
Bagaimana Reaksi Rusia, Iran, dan Amerika Serikat?
Assad sebenarnya memiliki sekutu kuat, yakni Iran dan Rusia.
Namun, Rusia tengah disibukkan dengan konfliknya sendiri di Ukraina.
Sementara itu, Hizbullah Lebanon, yang didukung Iran, telah melemah akibat konflik setahun terakhir dengan Israel.
Proksi Iran lainnya di kawasan tersebut juga terpukul oleh serangan udara Israel.
Pada hari Sabtu, Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump mengomentari situasi tersebut melalui platform Truth Social.
“AMERIKA SERIKAT TIDAK BOLEH TERLIBAT DALAM INI. INI BUKAN PERJUANGAN KITA. BIARKAN SAJA. JANGAN TERLIBAT!” tulisnya.
Sementara itu, di Forum Pertahanan Nasional Reagan di California, penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan menyatakan:
“Amerika Serikat tidak akan… secara militer terjun ke tengah-tengah perang saudara di Suriah.”
“Kami akan fokus pada prioritas dan kepentingan keamanan nasional Amerika.”
Ia menambahkan bahwa AS akan terus bertindak jika diperlukan untuk mencegah ISIS memanfaatkan kekacauan yang terjadi akibat pertempuran tersebut.
Kolase foto Presiden Suriah Bashar Al-Assad dan kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) (Syrian Presidency/AFP)
Bagaimana Konflik Kembali Berkobar?
Pemerintah Suriah dan kelompok anti-pemerintah telah terlibat dalam konflik selama bertahun-tahun.
Ribuan orang telah melarikan diri dari wilayah tersebut.
Sebelumnya, tidak ada kemajuan signifikan dari kedua belah pihak.
Namun, situasi berubah ketika pemberontak melancarkan serangan mendadak sekitar dua minggu lalu, tepat setelah Hizbullah dan Israel menyepakati gencatan senjata.
Pemberontak dengan cepat menguasai kota Hama, dan sekitar seminggu kemudian mereka melancarkan serangan besar-besaran di wilayah utara negara itu.
Langkah besar pertama pemberontak adalah merebut Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, seminggu yang lalu.
Pemimpin kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Abu Mohammed al-Golani, mengatakan kepada CNN dalam sebuah wawancara eksklusif pada Kamis bahwa tujuan utama serangan mereka adalah menggulingkan pemerintahan Assad.
Tentara Suriah mundur dari sebagian besar wilayah selatan Suriah pada Sabtu (7/12/2024).
Akibatnya, lebih banyak wilayah di Suriah, termasuk dua ibu kota provinsi, jatuh ke tangan pasukan oposisi, menurut pernyataan militer dan lembaga pemantau perang oposisi.
Penarikan pasukan dari provinsi selatan Daraa dan Sweida terjadi setelah pos-pos pemeriksaan militer diserang oleh kelompok yang mereka sebut sebagai “teroris.”
Militer Suriah menyatakan pada Sabtu pagi bahwa mereka sedang melakukan penataan ulang prajurit di Sweida dan Daraa, sambil membangun sabuk pertahanan dan keamanan di daerah tersebut untuk melindungi Damaskus dari selatan.
Sejak konflik Suriah pecah pada Maret 2011, pemerintah Suriah telah menyebut pasukan oposisi bersenjata sebagai “teroris.”
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)