Liputan6.com, Jakarta – Baru-baru ini jagat media sosial diramaikan dengan cuplikan video ceramah Gus Miftah, yang disebut mempermalukan seorang bapak penjual es di tengah para jemaahnya. Bapak penjual es teh dan minuman yang sedang membawa dagangan di kepalanya itu disebut goblok oleh Gus Miftah dan jadi bahan bercandaan dalam ceramah.
“Es teh mu masih banyak tidak? Ya dijual, goblok!” kata Miftah disambut gelak tawa orang-orang di sekitarnya.
Terkait konteks isi ceramah secara keseluruhan atau tidak, warganet menilai apa yang diucapkan Gus Miftah kepada bapak penjual es teh adalah sesuatu yang tidak pantas. Tak heran jika warganet banyak yang menghujat Gus Miftah dan mengorek kembali sapaan ‘Gus’ yang melekat pada dirinya.
“Miftah nama aslinya Ta’im, ayahnya orang Lampung bekerja serabutan. Ta’im dulu marbot di masjid Mergansang saat kuliah dan gak lulus,” tulis warganet.
“Gus, tapi bukan anak kiai,” tulis warganet lainnya.
“Cancel culture aja deh, plis sakit hati banget liatnya,” tulis warganet lagi.
Lalu sebenarnya apa makna di balik sapaan ‘Gus’? ‘Gus’ merupakan gelar yang awalnya populer di kalangan santri dan masyarakat tradisional Jawa. Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘gus’ bermakna nama julukan atau nama panggilan kepada laki-laki. Gelar tersebut merujuk pada ‘bagus, tampan, atau pandai’. Gus adalah panggilan kehormatan, sebutan untuk laki-laki keturunan kiai yang belum cukup untuk disebut kiai.
Akhir-akhir ini sematan ‘Gus’ untuk menyebut nama seseorang kian marak. Entah itu itu politikus, YouTuber, paranormal, pelaku praktik perdukunan, pengobatan alternatif, hingga penceramah. Sematan Gus telah dikapitalisasi menjadi sebuah brand, merek dagang yang diyakini bernilai jual tinggi. Gus telah menjelma menjadi kebutuhan untuk orang-orang yang tengah menyasar segmen masyarakat tertentu.
Padahal, sejatinya Gus tidaklah sesederhana kata dengan tiga huruf. Gus harus mewakili sosok, nasab, keilmuan dan tradisi pesantren, tidak sembarang orang bisa menggunakan sematan Gus pada namanya.
Soal pemanfaatan kata Gus oleh orang yang ‘tak berhak’ ini, pengasuh Pesantren Asrama Queen Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang HM Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) mengatakan bahwa orang yang bukan keturunan kiai, tapi dipanggil ‘Gus’ adalah ‘Gus’ naturalisasi. Termasuk kapitalisasi panggilan ‘Gus’.
“Definsi ‘Gus’ itu simpel. ‘Gus’ adalah sebutan untuk putra seorang kiai. Sebutan ‘Gus’ untuk seseorang yang bukan putra kiai adalah Gus jadi jadian, Gus naturalisasi, baik ciptaan media maupun panggilan seenaknya dari para pengikut atau pengagumnya,” jelas Gus Hans dikutip NU Online.
Menurutnya, mereka yang menyandang panggilan ‘Gus’ tidak harus alim dalam bidang agama. Namun, sangatlah disayangkan jika panggilan ‘Gus’ dikapitalisasi untuk menipu atau mencari keuntungan materi.
“Saat ini, siapa saja bisa mengaku ‘Gus’ untuk mendapatkan privilege yang bisa dikapitalisasi,” jelasnya.
Bagi dia, sangat disayangkan juga ketika praktik pengobatan alternatif dibungkus dengan atribut agama atau panggilan ‘Gus’ agar laris. Ada juga orang yang mendadak ‘Gus’ saat menjelang pemilu agar orang lebih percaya.
“Bisnis permainan kepercayaan ini memang lebih menggiurkan karena tidak perlu ada alokasi anggaran uji kompetensi, uji klinis, dan penelitian. Penentuan tarifnya pun tidak ada HET (harga eceran tertinggi) layaknya obat pabrikan,” ucap dia.
Praktik pengobatan alternatif atau biasanya disebut perdukunan akan semakin laris ketika ada label panggilan ‘Gus’ di depannya. Status sosialnya akan naik dan banyak yang datang minta obat. Harga biasanya seikhlasnya, tapi tanpa penentuan batas harga tertinggi.
“Penghasilan tinggi ini yang dibutuhkan hanyalah kemampuan komunikasi dan teaterikal dalam meyakinkan pasien. Kemampuan yang tidak kalah penting untuk dimiliki adalah tatag melawan hati nurani,” imbuh Wakil Rektor UNIPDU Jombang ini.
Seharusnya, kata dia, jika sebutan ‘Gus’ diberikan kepada seseorang karena dia putra kiai, lalu apa yang bisa dibanggakan? Justru yang ada adalah beban moral menjaga nama besar orang tuanya.
“Ada beban mental ketika kemampuannya terkadang tidak dapat menjawab ekspektasi masyarakat,” ujar Gus Hans.
Hal senada disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Putri Tebuireng KH Fahmi Amrullah Hadzik mengatakan bahwa gelar ‘Gus’ tidak sembarangan boleh dipakai seseorang.
Menurut Gus Fahmi, menyandang gelar ‘gus’, lora, ajengan, dan lain sebagainya merupakan penanda bahwa dia putra ulama/kiai, tentu tidak sembarangan. Harus diiringi sifat, akhlak, dan adab yang baik.
“Sekarang banyak yang latar belakangnya tidak jelas, tapi punya kemampuan sedikit sudah dipanggil ‘Gus’. Repotnya lagi, banyak yang memanipulasi gelar ‘Gus’ untuk keburukan. Tentu ini berbahaya bagi ‘Gus-Gus’ yang baik dan memang putra kiai,” kata cucu Hadratussekh Hasyim Asy’ari ini.