Jakarta –
Pilkada serentak 2024 juga diwarnai fenomena maraknya kotak kosong yang menang. Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan menilai pemilihan kepala daerah yang dilakukan serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota itu mengalami anomali dan tidak masuk akal.
“Jadi adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd). Menangnya kotak kosong merupakan suatu dinamika sosial politik yang harus dicermati,” kata Ahmad Irawan dalam keterangannya, Senin (2/12/2024).
Seperti diketahui, Pilkada Serentak 2024 banyak diwarnai pasangan calon (paslon) tunggal yang artinya mereka melawan kotak kosong. Beberapa paslon tunggal kalah dengan kotak kosong sehingga menjadi perhatian banyak pihak.
Kotak kosong sendiri merupakan fenomena ketika hanya ada satu pasangan calon (paslon) yang berkontestasi dalam pemilu di mana kondisi ini seringkali dianggap menguntungkan paslon tunggal karena ketiadaan lawan dinilai membuka peluang lebar untuk menang. Oleh karena itu, kemenangan kotak kosong menjadi kontroversi.
Irawan mengatakan fenomena kemenangan kotak kosong berpotensi merugikan negara.
“Jika memang rakyat menginginkan kepemimpinan alternatif, maka gerakan tersebut seharusnya telah dimulai dan harus ada sejak proses pencalonan. Toh ada mekanisme perseorangan (independen) jika tidak mampu dan tidak menginginkan calon yang diusung oleh partai politik,” ungkapnya.
Irawan menjelaskan bahwa hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) merupakan hak konstitusional dan merupakan perwujudan dari kesetaraan dan partisipasi dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law).
“Mengenai hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) telah memberikan jalan konstitusional untuk dapat dicalonkan melalui jalur perseorangan (independen) atau melalui jalur partai politik,” paparnya.
“Karena partai politik juga dibebani syarat minimum dukungan kursi di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk mengajukan pasangan calon,” ungkap Irawan.
Terkait jumlah dukungan ini, memang sudah ada ketentuan konstitusional terbaru yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi apabila partai politik menggunakan jumlah perolehan suara minimal yang didapatkan dalam pemilu, saat ini presentase dukungannya telah disamakan dengan dukungan perolehan suara calon perseorangan.
Menurut Irawan, banyak daerah untuk Pilkada 2024 yang menggunakan bentuk dukungan partai politik dengan basis jumlah perolehan suara partai politik karena lebih mudah, bukan kursi di DPRD.
“Kenapa perlu syarat dukungan? agar warga negara yang maju dalam pemilihan bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pemilihan kepala daerah,” tuturnya.
Irawan mengatakan syarat dukungan juga sebagai upaya untuk menjaga nilai dan kepercayaan rakyat terhadap proses pemilihan kepala daerah dan demokrasi. Jika tidak, kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi akan turun, serta serta ada kecenderungan dan potensial juga untuk dipermainkan secara tidak bertanggungjawab.
“Sehingga menurut saya, Negara sebenarnya telah memberikan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota),” ujar Irawan.
Irawan mengatakan fenomema kotak kosong ini akan menjadi evaluasi bersama antara penyelenggara Pemilu, Pemerintah, dan Komisi II DPR yang membidangi urusan terkait pemilihan umum.
“Ke depan semua ini akan kita evaluasi secara holistik dan komprehensif, termasuk apakah mekanisme kotak kosong ini relevan,” tuturnya.
(eva/isa)