Kutai Timur: Penurunan stunting merupakan salah satu isu yang sangat penting dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Stunting merujuk pada kondisi gangguan pertumbuhan pada anak-anak akibat kekurangan gizi kronis yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kognitif mereka.
Penurunan stunting berhubungan langsung dengan beberapa tujuan SDGs, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan pemberantasan kemiskinan.
Penurunan stunting berkaitan dengan peningkatan akses terhadap makanan bergizi yang cukup dan merata bagi keluarga, serta peningkatan pola makan yang sehat yang dapat dilakukan melalui program-program gizi.
Mengatasi stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, melibatkan kebijakan publik, sektor kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Terkait itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Bahrani, buka-bukaan kepada media, soal beberapa faktor keberhasilan Pemkab Kutai Timur dalam mempercepat penurunan stunting. Di antaranya, mengajak seluruh masyarakat Kutai Timur menerapkan konsep CERDIK dalam kehidupan sehari-hari.
CERDIK merupakan akronim dari Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin berolahraga, Diet seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres. Bahrani menyebut, jika pola hidup ini diterapkan sejak dini, risiko terkena penyakit berbahaya dapat ditekan. Sehingga kesehatan masyarakat dapat terjaga hingga usia lanjut.
“Upaya ini diterapkan pada program penurunan stunting. Kami meminta masyarakat melakukan cek kesehatan secara berkala dalam seribu hari pertama kehidupan. Yakni, sejak hamil 9 bulan hingga sang bayi berumur 2 tahun,” kata dia kepada wartawan.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur juga melakukan intervensi yang melibatkan lintas sektor. Mulai dari melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan antropometri untuk memantau status gizi dan kesehatan masyarakat, memberikan makanan tambahan dan tablet tambah darah bagi ibu hamil, mendorong persalinan di fasilitas kesehatan, memberikan makanan bergizi pada bayi dan balita, memberikan vitamin A, mengobati balita yang mengalami diare, hingga melakukan edukasi soal stunting yang menjangkau semua kecamatan.
Dengan aktivitas tersebut, Kutai Timur yang pernah dianggap sebagai daerah dengan prevalensi stunting paling tinggi se-Kalimantan Timur, kini sudah menurun.
Hal itu terlihat dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur dari 2021 hingga 2023, yang menunjukkan penurunan persentase pada prevalensi stunting di Kutai Timur. Di mana, jika pada 2021, persentase balita pendek dibandingkan jumlah balita yang diukur berada pada 13,12 persen. Pada 2022 berada pada 12,13 persen dan pada 2023 berada pada level 11,56 persen.
“Memang kemarin secara jumlah itu, kita dianggap paling tinggi se-Kalimantan Timur. Tetapi berkat kegiatan teman-teman, angka stunting ini, sudah mulai menurun,” ucap dia.
Menurunnya tingkat prevalensi stunting di Kutai Timur juga tak terlepas dari upaya Pemkab Kutai Timur menambah dan memperbaiki fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dll), ketersediaan peralatan medis, serta distribusi tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat di daerah terpencil.
Mengatasi stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, melibatkan kebijakan publik, sektor kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Kutai Timur: Penurunan stunting merupakan salah satu isu yang sangat penting dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Stunting merujuk pada kondisi gangguan pertumbuhan pada anak-anak akibat kekurangan gizi kronis yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kognitif mereka.
Penurunan stunting berhubungan langsung dengan beberapa tujuan SDGs, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan pemberantasan kemiskinan.
Penurunan stunting berkaitan dengan peningkatan akses terhadap makanan bergizi yang cukup dan merata bagi keluarga, serta peningkatan pola makan yang sehat yang dapat dilakukan melalui program-program gizi.
Mengatasi stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, melibatkan kebijakan publik, sektor kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Terkait itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur Bahrani, buka-bukaan kepada media, soal beberapa faktor keberhasilan Pemkab Kutai Timur dalam mempercepat penurunan stunting. Di antaranya, mengajak seluruh masyarakat Kutai Timur menerapkan konsep CERDIK dalam kehidupan sehari-hari.
CERDIK merupakan akronim dari Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin berolahraga, Diet seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres. Bahrani menyebut, jika pola hidup ini diterapkan sejak dini, risiko terkena penyakit berbahaya dapat ditekan. Sehingga kesehatan masyarakat dapat terjaga hingga usia lanjut.
“Upaya ini diterapkan pada program penurunan stunting. Kami meminta masyarakat melakukan cek kesehatan secara berkala dalam seribu hari pertama kehidupan. Yakni, sejak hamil 9 bulan hingga sang bayi berumur 2 tahun,” kata dia kepada wartawan.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur juga melakukan intervensi yang melibatkan lintas sektor. Mulai dari melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan antropometri untuk memantau status gizi dan kesehatan masyarakat, memberikan makanan tambahan dan tablet tambah darah bagi ibu hamil, mendorong persalinan di fasilitas kesehatan, memberikan makanan bergizi pada bayi dan balita, memberikan vitamin A, mengobati balita yang mengalami diare, hingga melakukan edukasi soal stunting yang menjangkau semua kecamatan.
Dengan aktivitas tersebut, Kutai Timur yang pernah dianggap sebagai daerah dengan prevalensi stunting paling tinggi se-Kalimantan Timur, kini sudah menurun.
Hal itu terlihat dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur dari 2021 hingga 2023, yang menunjukkan penurunan persentase pada prevalensi stunting di Kutai Timur. Di mana, jika pada 2021, persentase balita pendek dibandingkan jumlah balita yang diukur berada pada 13,12 persen. Pada 2022 berada pada 12,13 persen dan pada 2023 berada pada level 11,56 persen.
“Memang kemarin secara jumlah itu, kita dianggap paling tinggi se-Kalimantan Timur. Tetapi berkat kegiatan teman-teman, angka stunting ini, sudah mulai menurun,” ucap dia.
Menurunnya tingkat prevalensi stunting di Kutai Timur juga tak terlepas dari upaya Pemkab Kutai Timur menambah dan memperbaiki fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dll), ketersediaan peralatan medis, serta distribusi tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat di daerah terpencil.
Mengatasi stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, melibatkan kebijakan publik, sektor kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(ROS)