Bondowoso (ANTARA) – Memberikan dukungan kepada salah satu calon pada ajang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024 adalah wujud dari partisipasi warga pada kontestasi politik 5 tahunan ini.
Meskipun demikian, dukungan terhadap pasangan calon tertentu itu tidak perlu diekspresikan dengan sikap berlebihan, apalagi melampaui batas dan melanggar hukum.
Kasus di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Madura, yang berujung pada hilangnya nyawa seorang pendukung pasangan calon, adalah contoh dari bentuk partisipasi yang berlebihan, hingga membuat orang lain meninggal
Kasus itu diduga terkait dengan pelaksanaan pilkada karena korban merupakan saksi dari salah satu pasangan calon. Kepolisian Daerah Jawa Timur bergerak cepat dan langsung turun tangan menangani kasus itu. Sejauh ini, polisi berhasil menangkap tiga orang yang diduga sebagai pelaku. Polisi masih mengejar pelaku lain karena kasus itu melibatkan banyak orang.
Berkaca dari kasus itu, kita kembali diingatkan bahwa nyawa setiap orang, ketentraman dan kedamaian di masyarakat merupakan sesuatu yang jauh lebih berharga dari pada memberi dukungan membabi buta kepada pasangan calon yang kita anggap paling ideal memimpin satu daerah untuk masa lima tahun ke depan.
Memilih menggunakan cara kekerasan untuk memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam kontestasi politik ini akan merugikan banyak orang. Selain keluarga korban yang kehilangan sosok kepala keluarga, para pelaku juga pasti dirugikan oleh tindakannya sendiri. Hal itu juga pasti dirasakan oleh keluarganya yang tidak akan tenang mendapati salah satu anggota keluarga berhadapan dengan aparat penegak hukum.
Jika selama ini pelaku bisa menjalankan tugas mencari nafkah untuk keluarga dengan tenang, kini tidak bisa seperti itu lagi. Para pelaku sedang dalam kondisi ketakutan diciduk polisi akibat perilakunya sendiri yang telah keluar dari pikiran rasional saat melakukan tindakan pembunuhan.
Bukan hanya pelaku dan keluarganya yang dirugikan. Jika nanti terbukti di muka hukum bahwa kasus tersebut karena motif dukungan politik, maka pasangan calon yang didukung oleh pelaku akan mendapatkan imbasnya secara citra politik di mata masyarakat.
Kasus ini memberi pelajaran besar pada semua pihak untuk mendukung pasangan calon tertentu dalam kontestasi politik, khususnya pilkada, hendaknya dijalani dengan cara biasa-biasa saja.
Obrolan di warung-warung kopi yang dilontarkan oleh masyarakat biasa menemukan maknanya dalam menyikapi kasus di Sampang ini. “Menyikapi politik, khususnya pilkada ini, cukup dari kepala sampai leher saja, jangan sampai dibawa turun ke hati”.
Pertikaian akibat perbedaan dukungan calon adalah wujud nyata dari isu politik yang dibawa sampai ke hati. Ada ketersinggungan atau ada kekhawatiran calon yang didukungnya akan kalah, membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi kalap hingga tega membunuh orang yang tidak satu pilihan dengannya.
Dalam filosofi Jawa, kita mengenal pelajaran, “Urip sakmadyo” atau hidup sewajarnya saja, demikian juga dalam menyikapi perbedaan pilihan politik.
Khusus untuk wilayah Madura, sesuai hasil pemetaan tim Polda Jatim merupakan daerah rawan, sehingga tindakan pencegahan secara dini perlu ditingkatkan.
Karena luasnya wilayah, maka peran bintara pembina desa (babinsa) dari TNI dan bintara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (babinkamtibmas) dari Polri harus lebih dimaksimalkan lagi.
Selain itu, masyarakat Madura masih sangat kental dengan pola hubungan sosial patron-klien dalam bertindak. Pola patronasi di masyarakat Madura ini, setidaknya ada dua tokoh sentral yang dijadikan panutan, yakni kiai dan “blater”.
Kiai dan blater merupakan elite lokal di Madura yang memiliki kekuatan besar sesuai wilayahnya untuk menggerakkan masyarakat dalam konteks tertentu.
Kiai adalah sosok yang menjadi panutan bagi masyarakat Madura yang agamis. Sosok ini biasanya sering menjadi rujukan masyarakat dalam menentukan sesuatu, termasuk dalam hajatan pilkada.
Kalimat, “Kauleh ngireng dhebu keaeh” atau “Saya ikut kata kiai” sangat lumrah bagi masyarakat dalam menentukan pilihan untuk pemilu, baik pilpres, pemilihan anggota legislatif, maupun pilkada. Hal itu juga berlaku untuk pemilihan kepala desa (pilkades).
Penentu pilihan yang juga tidak kalah pengaruhnya dari kiai adalah tokoh “blater”. Blater adalah sosok, umumnya kaum laki-laki, yang memiliki kekuatan pengaruh di satu desa, bahkan hingga ke desa lain, karena memiliki kekuatan fisik atau jagoan dalam urusan carok (duel satu lawan satu menggunakan senjata celurit). Selain kekuatan fisik, biasanya tokoh blater ini juga memiliki kekuatan ekonomi dan relasi kekuasaan, sehingga menjadi terpandang di masyarakat.
Kedua patron ini memiliki pengaruh besar yang dapat menggerakkan masyarakat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena mendapat restu atau justru penolakan dari si patron.
Seseorang yang menempatkan kiai sebagai panutan, biasanya akan meminta pertimbangan terlebih dahulu ke kiainya untuk melakukan sesuatu, termasuk dalam urusan seseorang yang hendak bercarok.
Dengan segala kemampuan dan pengalamannya mengelola emosi warga, kiai bisa meredam gejolak seseorang yang hendak melakukan tindakan melanggar hukum itu, sehingga carok tidak sampai terjadi.
Demikian juga dengan warga yang menempatkan blater sebagai panutan dan pertimbangan. Hanya saja tokoh blater ini tidak memiliki kearifan layaknya seorang kiai. Sehingga biasanya dari tokoh ini, seseorang justru memiliki tambahan kekuatan untuk mewujudkan rencananya.
Karena itu, polisi dan TNI harus “melibatkan” dua patron sentral itu di Madura untuk ikut bersama-sama menjaga pilkada agar berjalan damai. Pendekatan intensif harus dilakukan, setidaknya untuk menyerap informasi potensi kerawanan di satu wilayah.
Keterlibatan seluruh unsur masyarakat tentu sangat bermakna untuk mewujudkan pilkada yang aman dan damai.
Ibu-ibu yang mendapati gelagat suaminya dalam menghadapi momen pilkada, bisa meredam kemarahan si suami. Atau anak-anak yang melihat gejala bapaknya menampakkan dukungan berlebihan kepada pasangan calon tertentu, bisa ikut mengingatkan si bapak untuk bersikap lebih rasional. Kalau suami atau bapak tidak mampu menahan emosi, hingga terjadi kasus pelanggaran hukum, maka si ibu dan si anak juga yang merasakan penderitaan.
Mari kita sikapi pilkada dengan kepala dingin dan saling mendinginkan emosi antara satu dengan lainnya. Persaudaraan dan menyelamatkan nyawa yang hanya selembar adalah di atas semua hiruk pikuk politik.
Copyright © ANTARA 2024