Wacana penyeragaman bungkus rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terus menuai protes dan penolakan dari berbagai pihak. Salah satu penolakan datang dari serikat pekerja tembakau di Jawa Tengah, yang khawatir kebijakan tersebut akan mengancam mata pencaharian mereka.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesa (FSP RTMM-SPSI), Andreas Hua mengatakan, kebijakan yang eksesif bagi industri tembakau akan memengaruhi penghidupan pekerjanya.
Apalagi, per Mei 2024 terdapat sekitar 99.177 pekerja tembakau yang tersebar di Jawa Tengah. Sebagian besarnya merupakan pekerja perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga.
“Aturan ini bisa mematikan penghidupan pekerja di Indonesia. Ambil contoh kudus, kalau industri rokoknya mati, maka ada 77.000 pekerja yang akan terdampak. Itu baru satu wilayah saja loh,” ungkapnya, Selasa (20/11/2024).
Sama halnya dengan serikat pekerja di daerah lain, Andreas mengaku pekerja di Jawa Tengah tidak diikutsertakan dalam proses perumusan Rancangan Permenkes yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, aturan ini sangat mempengaruhi para pekerja, terutama pekerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang merupakan sektor padat karya.
Pekerja di Jawa Tengah dengan tegas menolak rencana aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes. “Pokoknya, kita tidak setuju akan aturan ini karena dapat mengancam para pekerja yang terlibat di dalamnya,” serunya.
Di sisi lain, Akademisi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Malik Cahyadin menilai, rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek bukan hal yang subtansial untuk mengendalikan konsumsi rokok.