Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

MUI Jateng Umbar Fatwa Pilih Pemimpin Satu Agama Jelang Pilkada, Ini Kata Setara Institute

MUI Jateng Umbar Fatwa Pilih Pemimpin Satu Agama Jelang Pilkada, Ini Kata Setara Institute

Bisnis.com, JAKARTA — Beredar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tiga hari jelang pencoblosan pada 27 November 2024 mendatang. Fatwa MUI Jateng itu pun menuai kritik. 

Salah satu kritik datang dari Setara Institute, yang menilai fatwa itu diskriminatif, bertentangan dengan hukum serta melemahkan keberagaman. 

Setara mengkritik fatwa yang keluar, Sabtu (23/11/2024) itu karena pada pokoknya mewajibkan Umat Islam untuk memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur, terpercaya dan memperjuangkan kepentingan syiar Islam. 

Fatwa tersebut juga menyatakan bahwa memilih pemimpin yang tidak seakidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seakidah hukumnya haram.

Menurut Setara, fatwa itu bertentangan dengan sejumlah pasal di Undang-undang Dasar (UUD) 1945 seperti pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” 

Demikian pula UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak. Dengan demikian, hak memilih dan dipilih melekat pada setiap warga negara, apapun identitas yang bersangkutan. 

“Mewajibkan pemilih dari kalangan Umat Islam untuk memilih calon yang seakidah merupakan tindakan pembedaan atau diskriminasi yang hanya mengistimewakan calon dari kalangan umat Islam,” ujar Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan dikutip dari siaran pers, Minggu (24/11/2024). 

Kemudian, fatwa itu juga dinilai bersifat segregatif dan melemahkan kebinekaan Indonesia. Untuk itu, tindakan mewajibkan memilih berdasarkan agama dan mengharamkan memilih calon yang tidak seagama merupakan upaya segregasi yang melemahkan kebinekaan Indonesia.

Setara memandang fatwa itu bisa berpotensi memecah belah masyarakat yang majemuk.

“Pemaksaan preferensi agama dalam memilih pemimpin akan menciptakan segregasi sosial-politik dan memantik polarisasi di tengah-tengah masyarakat,” terang Halili. 

Adapun, suatu fatwa dipandan sebagai pandangan keagamaan biasa, tidak mengikat, dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun. 

“Publik dan pemilih, termasuk pemilih dari kalangan umat Islam dapat mengabaikan pandangan keagamaan yang tidak memiliki kekuatan hukum apapun karena tidak sesuai dengan kebinekaan Indonesia,” imbuhnya. 

Setara lalu mendesak seluruh pihak, termasuk ormas keagamaan, untuk menjadikan hajatan elektoral seperti Pilkada sebagai sarana untuk mengekspresikan hak konstitusional warga negara dan kedaulatan rakyat secara bebas, di satu sisi, dan wahana kebangsaan untuk memperkuat tata kebinekaan di sisi yang lain.

Lembaga itu juga mengimbaj agar  organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi keagamaan, memberikan teladan toleransi dan menyuarakan pesan-pesan damai, nondiskriminatif dan nonsegregatif, untuk menguatkan ekosistem toleransi dan mendukung kondusivitas di tengah-tengah masyarakat dalam Pilkada Serentak 2024, terutama menjelang Hari Pemungutan Suara pada 27 November 2024.