Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto disarankan melakukan tiga langkah untuk mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia. Alasannya, setiap pergantian pemerintahan baru maupun menteri baru, kurikulum pendidikan Indonesia terus berganti.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, perubahan kurikulum tidak berdampak signifikan terhadap kualitas pendidikan Indonesia termasuk kualitas SDM peserta didik. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan pemerintah, yaitu meningkatkan kualitas guru/pengajar, menciptakan suasana pembelajaran dalam kelas, dan tidak adanya kepentingan politik pada anggaran pendidikan.
“Yang pertama soal mutu guru kita ini kan rata-rata nasional di bawah standar rata-rata kualitasnya, masih buruk, dan sangat perlu ditingkatkan,” ujar Ubaid Matraji saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2024).
Ubaid menyampaikan pemerintah perlu menyiapkan strategi yang khusus untuk meningkatkan standar kualitas mutu guru di Indonesia. Selain itu, kesejahteraan guru juga perlu dipikirkan mengingat saat ini masih banyak sekali guru yang mendapatkan gaji di bawah upah minimum.
“Nah ketika sekolah-sekolah kita diisi oleh guru-guru yang bermutu, maka ini akan berdampak kepada peserta didik. Kualitasnya pasti akan bermutu whatever kurikulumnya. Ketika kesejahteraan guru itu buruk, gajinya sangat minim, sumber daya manusia kita, anak-anak lulusan perguruan tinggi yang berprestasi enggak ada yang mau menjadi guru,” urainya.
Kedua, Ubaid menyarankan pemerintah perlu memikirkan bagaimana cara menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang tidak monoton sehingga dapat mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia. Jadi, tidak lagi guru hanya sebagai pengajar, dan peserta didik sebagai yang diajarkan, tetapi tidak ada pembelajaran.
“Kadang kala sekolah itu hanya diukur masuk atau tidak, absen apa enggak tetapi dia belajar enggak tuh. Kalau misalnya kita belajar tentang Bahasa Indonesia, anak-anak belajar bahasa Indonesia itu buat apa? Buat memahami teks. Belajar bahasa Indonesia itu untuk membaca apa, kalau setelah dia baca bisa enggak tidak dia merefleksikan terhadap apa yang dia pahami terhadap bacaan itu misalnya dalam bentuk tulisan,” jelas dia.
Dia menambahkan, belum lagi soal kemampuan menulis dari masing-masing pelajar karena ada yang sudah bisa dan belum. “Jadi proses belajar itu yang menurut saya belum terjadi di sekolah karena yang terjadi jam masuk ya masuk, jam pulang ya pulang,” ujarnya.
Ketiga, peniadaan kepentingan politik pada anggaran pendidikan. Ubaid menilai anggaran pendidikan saat ini menjadi terbagi karena adanya kepentingan politik antar pemerintah.
“Dana pendidikan yang begitu besar ternyata tidak berdampak terhadap peningkatan mutu karena itu ada politik anggaran yang harus jelas. Jadi pendidikan kita ini punya prioritas apa, sehingga resource yang besar dalam APBN dan APBD ini juga harus ditopang untuk mewujudkan visi itu sebagai prioritas perbaikan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia,” pungkasnya.