Jakarta –
Peneliti mengungkap hal yang menjadikan rawannya kawasan Rancaekek diterjang pusaran angin. Tata guna lahan menjadi permasalahan yang menyebabkan hal tersebut.
Dari rilis yang diterima detikINET, Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengatakan bahwa awalnya Rancaekek adalah kawasan hijau yang ditandai dengan banyaknya pepohonan. Itu artinya, lingkungannya masih relatif bersih.
Namun, sekarang kawasan ini telah beralih fungsi, yang semula hijau, berubah menjadi kawasan industri. Kawasan seperti ini biasanya rawan diterjang pusaran angin.
“Dengan kata lain, terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati, kini berubah menjadi hutan beton,” ujarnya.
Menurut Eddy, industri banyak menghasilkan gas emisi. Gas ini tidak dapat leluasa kembali ke atmosfer sehingga menciptakan efek rumah kaca. Dengan Lama Penyinaran Matahari (LPM) lebih dari 12,1 jam, maka kawasan ini sangat panas di siang hari dan relatif dingin di malam hari.
Lebih lanjut, perbedaan suhu antara malam dan siang sangatlah besar. Tanpa disadari, kawasan ini tiba-tiba berubah menjadi kawasan bertekanan rendah. Kondisi seperti ini dimulai sejak 19 Februari 2024 dan di saat itulah, kumpulan massa uap air dari berbagai penjuru masuk ke Rancaekek.
Proses tersebut terjadi agak lama, sekitar 24-48 jam. Diawali dengan pembentukan bayi awan-awan Cumulus (dikenal sebagai Pre-MCS) yang lambat laun membesar membentuk kumpulan awan-awan Cumulonimbus (Cb) yang siap untuk diputar hingga membentuk pusaran besar, dikenal sebagai puting beliung.
“Walaupun mekanisme agak komplek untuk dijelaskan secara rinci, namun dugaan kuat pusaran ini terjadi akibat adanya pertemuan dua massa uap air, dari arah barat dan timur, lalu diperkuat dari arah selatan Samudera Indonesia. Ketiganya berkumpul di satu kawasan yang memang telah mengalami degradasi panas yang cukup tajam,” jabar Eddy.
Hampir semua kejadian ekstrem, seperti puting beliung di Rancaekek misalnya, relatif sulit diprediksi. Selain terbatasnya data yang beresolusi tinggi, mekanisme pembentukannya belum dipahami dengan baik dan sempurna.
“Adalah wajar jika kadangkala masing-masing kita memiliki pandangan berbeda,” ungkap Eddy.
Menurut Eddy, ini memang kejadian langka, kebetulan yang terdampak satu kawasan yang bernama Rancaekek. Ia mengimbau kepada masyarakat, selain tidak usah panik secara berlebihan dan yang lebih penting adalah ikuti terus informasi terkini yang diberikan oleh BMKG atau BPBD.
(ask/ask)