Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom University of California, Los Angeles, Mariko Sakakibara (2000) mengukur intensitas research and development (R&D) dari dua sisi, yaitu besarnya alokasi anggaran publik dan privat untuk R&D pada sisi input dan jumlah pendaftaran paten pada sisi output.
Intensitas R&D negara berpendapatan menengah, baik menengah atas maupun bawah masih rendah, seperti Vietnam mengalokasikan 0,43% dari Gross Domestic Product (GDP) untuk R&D, Turkiye 1,40%, Thailand 1,21%, Indonesia 0,30%, dan Afrika Selatan 0,60% pada 2021 (World Bank, 2023).
Sementara negara-negara maju intensitas R&D-nya sangat tinggi, seperti Amerika Serikat mengalokasikan 3,46% dari GDP untuk R&D, Inggris 2,91%, Swiss 3,36%, Korea Selatan 4,93%, Jepang 3,30%, dan Jerman 3,14% tahun 2021.
Akibatnya, pendaftaran paten di negara berpendapatan menengah sangat rendah. Inovasi teknologi lambat. Efisiensi ekonomi rendah yang tercermin pada nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dalam 10 tahun terakhir. ICOR Indonesia termasuk tertinggi sebesar 7,05% tahun 2015 dan 6,33% pada 2023. Jauh dari nilai ideal sekitar 3%.
Di tengah rendahnya intensitas R&D Indonesia membuat mimpi Prabowo untuk menjadikan Indonesia negara maju pada 2045 semakin berat. Perekonomian Indonesia harus tumbuh 8% per tahun dalam 20 tahun ke depan berbasis pada inovasi dan peningkatan produktivitas.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5% menjadi 8% pada 2026—2027 membutuhkan pergeseran model pertumbuhan ekonomi nasional dari exogenous growth model menjadi endogenous growth model.
Exogenous growth model diperkenalkan oleh Robert Solow, peraih Nobel ekonomi 1987. Pendekatan Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang hanya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Penggunaan teknologi tinggi meningkatkan productivity growth yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Namun, pendekatan itu menempatkan teknologi yang digunakan dalam suatu perekonomian bersumber dari luar perekonomian bersangkutan. Kemajuan teknologi tidak bersumber dari kekuatan internal perekonomiannya.
Sementara endogenous growth model yang diinisiasi oleh Paul M. Romer, penerima Nobel ekonomi 2018. Romer menyatakan bahwa investasi dan tenaga kerja berdampak temporer pada pertumbuhan. Efeknya hanya dalam jangka pendek.
Pendekatan ini menyatakan bahwa kemajuan teknologi dan pertumbuhan produktivitas harus bersumber dari kekuatan internal suatu perekonomian. Kemajuan teknologi ditunjang oleh kemampuan inovasi, tingginya intensitas R&D dan ketersediaan tenaga kerja terampil.
Kemampuan inovasi suatu perekonomian bergantung pada stock of knowledge (banyaknya pengetahuan) dalam perekonomian bersangkutan. Hal ini tercermin pada jumlah pendaftaran paten dalam perekonomian bersangkutan.
Selama ini terdapat kesenjangan pendaftaran paten antara negara maju dan berkembang. Berdasarkan publikasi World Intelectual Property Rights Organisation (WIPO), sekitar 80% – 90% pendaftaran paten dilakukan oleh negara maju sejak tahun 2010. Sementara hanya 10% – 20% berasal dari EMEs.
Menjadi Kaya
Mimpi Indonesia dan Prabowo untuk menjadikan Indonesia negara kaya pada 2045 terwujud jika mampu mentransformasi ekonominya dari factor driven economy ke perekonomian yang digerakkan oleh inovasi (innovation driven economy).
Salah satu negara yang sering menjadi rujukan karena sukses bertransformasi menjadi negara kaya dalam jangka 50—60 tahun adalah Korea Selatan. Pemerintah Korea konsisten menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% atau lebih dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak 1980-an hingga saat ini.
Pemerintah Korea mendirikan research university sebagai sarana mengadopsi dan mengadaptasi teknologi baru dari negara maju. Institusi pendidikan Korea menyerap technology inflow dan sekaligus menciptakan teknologi baru. Kebijakan pendidikan Korea membuat keterkaitan kuat antara pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kemajuan teknologi.
Ketersediaan tenaga kerja terampil dan berkualitas dalam jumlah besar menjadi modal dasar pemerintah Korea mengadopsi dan mengadaptasi teknologi terbaru dari negara maju. Bahkan, tenaga kerja Korea juga dapat memprediksi arah pengembangan teknologi manufaktur terbaru di negara maju.
Tingginya proporsi tenaga kerja terampil dan pesatnya perkembangan sektor manufaktur membuat jumlah kelas menengah Korea, sejak 1990-an hingga saat ini, lebih dari 53% populasi. Kelas menengah berpendidikan tinggi menjadi basis dalam mengembangkan knowledge-based economy.
Dalam rangka mewujudkan mimpi Prabowo, ada baiknya kita belajar dari Brasil dan Korea. Sejak 1965—1980, Brasil tumbuh rata-rata 5,6% dengan PDB per kapita US$7.600 tahun 1980. Tetapi Brasil tidak sukses menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita US$12.500 karena intensitas R&D-nya rendah dan pekerja profesional berpengetahuan tinggi (kelas menengah) rendah.
Hal berbeda dengan Korea yang tumbuh 6,5% selama periode 1965–1980 memiliki pendapatan per kapita US$7.700 tahun 1986. Gini ratio yang rendah, membuat kelas menengah Korea lebih dari 53% populasi sejak 1990-an. Pekerja terampil yang besar menjadi penggerak utama inovasi Korea hingga mencapai pendapatan per kapita US$12.500 (2003).
Akhirnya, kata kunci kemajuan ekonomi Korea yang perlu kita adopsi adalah tingginya intensitas R&D, besarnya persentase pekerja terampil dan berpengetahuan tinggi (kelas menengah). Modal ini yang memudahkan Korea mengadopsi, mengadaptasi dan menciptakan teknologi manufaktur terbaru dengan produk manufaktur yang sangat kompetitif di pasar ekspor.