Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Jemput Bola Kemenangan Butter Leaders

Jemput Bola Kemenangan Butter Leaders

Bisnis.com, JAKARTA – Pada 2024, se­­­banyak 57 ne­­­­­gara me­­­nye­­leng­­­­garakan pe­­­mi­­­lu termasuk Ing­­­­­gris, India, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan juga Indonesia.

Sebanyak 57 negara tersebut sangat berkontribusi dalam menyum­­bang 49% populasi dan 60% PDB dunia. Ke­­tidakpastian tahun 2024 tentu sangat tinggi karena banyak kebijakan populis yang dikampanyekan oleh petahana untuk kembali meraih hati rakyat.

Dari banyaknya pemilu tersebut terdapat fokus perhatian utama yakni AS yang sangat menaruh perhatian global karena dinamika yang dinamis. Diksi “Trump yang tertembak, karier politik Biden yang tewas” menjadi pola yang menarik karena tidak banyak prediksi pada saat itu bahwa Kamala Harris akan menggantikan atasannya dalam kontestasi politik AS tersebut. Hampir saja AS akan memiliki presiden perempuan pertama di negaranya.

Dalam pidato kemenangannya di Florida, Trump menyampaikan akan mengembalikan kejayaan AS dan mengajak masyarakat negeri Paman Sam tersebut untuk bersatu. Hal ini membuat posisi yang jelas bahwa ia akan membenahi urusan domestik yang akan menjadi modal bagi AS dalam berpartisipasi dalam panggung dunia ke depannya.

Saat Trump menjadi Presiden ke-45 AS memang berbagai indikator perekonomian bergerak cukup luar biasa melalui reformasi perpajakan yang dilakukan Trump untuk mendorong perekonomian domestik. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, era Trump berhasil mencatatkan rata-rata pertumbuhan sebesar 2,5% yang membuat pertumbuhan ekonomi AS melampaui Eropa. Bahkan pada 2017, pertumbuhan negeri Paman Sam sempat tumbuh fantastis sebesar 4,2% (YoY) dan pada sisi output pada kuartal III/2020 saat pandemi melanda berhasil tumbuh 33% (YoY).

Pada sisi pengangguran, Trump berhasil memecahkan rekor dengan membawa tingkat pengangguran terendah dalam 5 dekade terakhir di angka 3,5% dan membuka 6,4 juta lapangan pekerjaan baru. Bahkan, Tetapi dari sisi kenaikan upah, rata-rata pertumbuhan era Trump lebih rendah dari Barack Obama di mana hanya naik rata-rata 2,1% setiap tahunnya. Trump juga berhasil menurunkan 4,2 juta rakyat yang masuk dalam kategori miskin dengan tingkat kemiskinan sebesar 10,5%.

PERPAJAKAN ALA TRUMP

Perhitungan Tax Foundation (2020), apabila reformasi pajak ala Trump dilakukan secara jangka panjang hingga tahun 2027, maka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,7%, yang diterjemahkan dengan peningkatan upah sebesar 1,5%, melengkapi pasar tenaga kerja dengan 339.000 lapangan kerja baru dan meningkatkan stok modal sebesar 4,8% pada 2027.

Berdasarkan perhitungan statis memang terjadi degradasi US$373 miliar tetapi apabila menggunakan perhitungan dinamis terhadap perekonomian sebesar US$408 miliar.

Relaksasi pajak yang dilakukan Trump kepada dunia usaha dan pribadi memberikan tingkat daya saing Amerika Serikat yang lebih tinggi karena menurunnya biaya produksi, perubahan substansial terhadap cara kegiatan ekonomi di pasar domestik, memberikan zona peluang bagi bisnis di AS dapat ekspansi di dalam negeri baik baik intensifikasi dan ekstensifikasi model bisnis mereka.

Reformasi Pajak yang mewujudkan corporate welfare dalam jangka pendek dan social welfare dalam jangka panjang akan dilakukan dengan menjamin sektor swasta menginvestasikan uangnya ke dalam pasar akibat pemotongan pajak.

AMERICA GREAT AGAIN

“Kita akan membuat Amerika kuat kembali, Kita akan membuat Amerika bangga kembali. Kita akan membuat Amerika aman kembali dan kita akan membuat Amerika hebat kembali” ujar Trump dalam salah satu kampanyenya. Maka sudah dapat dipastikan bahwa berbagai formulasi kebijakan Trump pada saat menjadi Presiden ke-45 di Negeri Paman Sam akan dilanjutkan dan diperkuat dalam 4 tahun mendatang.

Potensi perang dagang jilid kedua dengan China akan terjadi bahkan akan meluas dengan negara yang menentang “hegemoni” dari mata uang AS karena Trump sempat mengatakan akan mengenakan bea masuk hingga 100% bagi negara yang melakukan dedolarisasi. Walaupun akan menjadi “boomerang” bagi perekonomian domestik, tetapi Trump akan berani untuk melakukannya.

Kedua, akan ditariknya berbagai militer AS yang akan menurunkan temperatur persaingan geopolitik, tetapi keinginan Trump untuk menguasai cadangan minyak dunia akan tetap dilakukan karena dalam kepemimpinannya, ia sempat keluar dari Paris Agreement maka komitmen terhadap net zero emission dapat menjadi ancaman.

Ambisi Trump menguasai cadangan minyak Timur Tengah akan meningkatkan risiko tetapi sepertinya posisi Israel akan diuntungkan yang menjadi ancaman adalah apabila Iran menutup Selat Hormuz maka minyak dunia akan kolaps dan diuntungkannya Belt Road Initiative milik China.

Selanjutnya, Trump juga akan mengevaluasi berbagai perjanjian perdagangan dan akan melakukan revaluasi perjanjian dagang yang menguntungkan masyarakat AS terutama kelas menengahnya yang sedang mengalami pelemahan daya beli. Pengalaman Trump keluar dari Trans-Pacific Treaty, Trans-Atlantic Treaty, dan perjanjian dagang lainnya akan menjadi ancaman. Berbagai program domestik AS akan dipaksakan menjadi agenda global dan evaluasi kebijakan Presiden Biden tentu akan dilakukan secara masif.

Dampak Terhadap Indonesia

Kemenangan Trump sebenarnya lebih banyak membawa dampak positif bagi perekonomian domestik karena peluang terjadinya relokasi pabrik akan sangat tinggi. Maka dari itu, pengusaha dan Pemerintah Indonesia harus siap menangkap berbagai peluang tersebut seperti memberikan kepastian hukum, reformasi birokrasi, percepatan perizinan, bahkan hingga insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance untuk industri yang memberikan alih teknologi.

Kunjungan kerja Presiden Prabowo ke Amerika Serikat berusaha untuk menangkap peluang kerja sama, bahkan dalam video terbuka Presiden Prabowo mengucapkan selamat kepada Presiden Trump. Hal ini akan menjadi katalis positif hubungan antara RI dan AS bagi pasar, bahkan Presiden Trump berjanji akan mengunjungi Indonesia

Perlu diingat pada periode perang dagang 2018, Indonesia gagal menangkap peluang relokasi pabrik dan banyak pabrik yang ada di China lari ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia, maka dari itu saat ini Indonesia harus lebih siap menangkap peluang tersebut. Dari sisi kinerja ekspor, kemenangan Trump membuka peluang terjadinya perang tarif dan terbuka potensi neraca dagang kita akan balance dengan AS. Namun, penjualan komoditas esensial seperti CPO dan batu bara secara volume relatif akan ada pergerakan.

Dari sisi nilai tukar, konsensus pasar yang terjadi di AS mengisyaratkan bahwa apabila Donald Trump memenangkan pemilihan, maka akan terjadi penurunan suku bunga sebanyak tiga kali oleh The Federal Reserve berbeda dengan konsensus kemenangan Kamala Haris yang memungkinkan akan diturunkan sebanyak 5 kali. Maka dari itu, pelemahan nilai tukar akan terjadi dan akan merugikan importir bahan baku produksi tetapi akan menguntungkan bagi eksportir.

Perang tarif yang terjadi juga dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat menggarap pasar Afrika dan pasar negara Kepulauan Pasifik untuk dapat menjadi pasar pengganti ekspor kita ke AS. Berbagai kerja sama bilateral dengan negara Afrika dan Kepulauan Pasifik terutama mengenai perdagangan dan ekonomi dapat dibangun.

Pemerintah juga perlu cermat untuk melakukan penyesuaian dalam membuat formulasi dalam APBN-P nantinya dengan melakukan kalkulasi ulang baik dari sisi harga minyak, kurs nilai tukar, dan inflasi karena akan dapat memengaruhi berbagai orkestrasi kebijakan. Pada dasarnya, kemenangan Trump akan menjadi “butter” bagi Indonesia apabila kita bersiap dan dapat melakukan jemput bola.