Daftar Isi
Jakarta, CNN Indonesia —
Istilah Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) mengemuka usai disebut-sebut oleh calon presiden nomor urut tiga Ganjar Pranowo sebagai solusi untuk mahasiswa kurang mampu dalam membayar kuliah.
Dalam debat terakhir Pilpres 2024, Minggu (4/2), Ganjar melontarkan tekadnya untuk menghentikan liberalisasi pendidikan. Maka itu, ia ingin mengaktifkan kembali program pinjaman pelajar KMI agar pinjaman mahasiswa lebih terjangkau.
“Saya ingin mengangkat kembali sebenarnya. Dulu era senior-senior saya, senior-senior kita saya kira, termasuk kakak saya sendiri. Dia punya KMI, kredit mahasiswa Indonesia. Dan kalau tidak salah kakak saya sampai hari ini ijazahnya tidak pernah diambil juga. Karena itu dia lulus menggunakan kredit yang sangat murah diberikan scheme oleh pemerintah,” kata dia di JCC, Jakarta.
Selain itu, Ganjar menjelaskan KMI bisa menjadi solusi untuk mahasiswa lantaran bisa dilunasi saat mereka sudah lulus dan bekerja
“Modanya seperti yarnen, bayarnya setelah panen. Panennya apa? Ketika dia sudah lulus. Maka liberalisasi yang mesti dihentikan ini menurut saya mesti juga diimbengkan dengan proporsionalitas kepada mana yang mampu dan mana yang kurang mampu. Yang kurang mampu mesti mendapatkan intervensi dari pemerintah,” tegas Ganjar.
Sebenarnya apa KMI?
KMI sendiri merupakan kredit pendidikan yang disubsidi oleh pemerintah dan sudah diperkenalkan sejak awal 1982.
Skema KMI saat itu diterapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral negara dalam bentuk kredit likuiditas bersubsidi ke Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. BNI kemudian berperan menyediakan pinjaman pendidikan ke mahasiswa.
Sebelum itu, pemerintah maupun bank di Indonesia tak memiliki skema kredit pendidikan atau kredit bank untuk kuliah. Maka itu, opsi pinjamannya hanya melalui jalur informal seperti meminjam ke keluarga, kerabat, teman, atau sumber kredit lainnya.
Awal mula KMI
Pada 1982, KMI muncul untuk mendorong mahasiswa lebih cepat lulus dari perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang notabene disubsidi pemerintah. Kala itu, mahasiswa bisa lulus sampai 8-9 tahun atau lebih, lebih lama dari seharusnya yang 4-5 tahun saja.
Sebelum menyelesaikan skripsi atau tugas akhir, rupanya mahasiswa kala itu cenderung mencari kerja terlebih dulu. Mereka memanfaatkan kebijakan biaya kuliah minimum PTN bagi mahasiswa periode skripsi atau tugas akhir.
Alih-alih mengerjakan skripsi, mahasiswa membayar biaya kuliah yang relatif rendah, bekerja, sambil tetap memegang status sebagai mahasiswa.
Mengatasi fenomena ini, pemerintah menghadirkan pinjaman mahasiswa bersubsidi. Dananya diambil dari laba tidak terduga akibat tingginya harga minyak saat itu.
Dana tersebut dipakai dengan harapan membantu kebutuhan mahasiswa sehingga bisa berhenti bekerja dulu, dan mendorong mereka agar fokus menyelesaikan tugas akhir dan persyaratan lulus lain, sehingga dapat lulus dalam waktu sesingkat mungkin.
Opsi KMI dibatasi hanya untuk mahasiswa yang sudah masuk tahap akhir kuliah. Status sebagai mahasiswa di tahap tugas akhir saat itu kerap menjadi syarat bantuan pendidikan, kecuali beasiswa ikatan dinas.
Sistem KMI
KMI saat itu juga membuka pinjaman pendidikan bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan 90-110 satuan kredit semester (SKS). Setelah 1985, KMI dibuka untuk mahasiswa yang sudah menyelesaikan 110-120 SKS dari total 140 atau 160 SKS, atau mahasiswa yang sudah menginjak tahun ke-4 atau ke-5 perkuliahan.
Syarat KMI lainnya yaitu surat keterangan tentang keuangan mahasiswa yang diotentikasi petugas daerah setempat, surat keterangan sehat dari dokter, dan surat rekomendasi dari rektor, wakil rektor bidang kemahasiswaan, atau dekan fakultas.
Biaya kuliah di PTN saat itu sekitar Rp375 ribu-Rp562 ribu per tahun. Besarnya kurang dari 20 persen dari total biaya mahasiswa selama studi, yang juga meliputi biaya hidup dan ongkos.
Jumlah pinjaman pendidikan KMI maksimal sebesar Rp750 ribu per tahun untuk S1, Rp1,5 juta untuk S2, dan Rp2,5 juta untuk S3. Bunganya 6 persen per tahun.
Saat lulus, ijazah harus ditahan bank sebagai jaminan. Namun, kebijakan ini tidak efektif karena untuk mencari pekerjaan, lulusan pendidikan tinggi tidak memerlukan ijazah asli, cukup fotokopinya saja.
Persetujuan student loan KMI juga harus ditandatangani oleh orang tua atau wali mahasiswa dan rektor. Pinjaman ini diasuransi dengan asuransi pemerintah Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) jika mahasiswa bersangkutan meninggal atau menjadi penyandang disabilitas permanen.
Biaya cicilan per bulan KMI maksimal tidak boleh lebih dari 30 persen dari total pendapatan kotornya. Namun, biaya cicilan biasanya lebih rendah dari persentase tersebut, yaitu sekitar Rp10 ribu-Rp 20 ribu, yakni sekitar 15 persen dari total penghasilan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di tahun pertama diterima kerja.
Di sisi lain, tingkat gagal bayar KMI cenderung tinggi. Salah satunya karena peminjam setelah lulus dapat pindah ke mana saja di Indonesia. Ijazahnya juga tidak tertahan di bank, melainkan fotokopinya saja.
Peniadaan KMI
Sejumlah faktor, termasuk perubahan kebijakan ekonomi dan pasar kerja, mempengaruhi peniadaan KMI pada pertengahan 1980-an.
Di samping itu, sistem kredit semester mulai awal 1980-an rupanya membantu perguruan tinggi mendorong mahasiswa untuk segera lulus dalam 5-6 tahun saja. Di sisi lain, sistem ini juga menjadikan KMI tidak cukup relevan bagi banyak mahasiswa.
Cepatnya kelulusan mahasiswa tanpa didorong KMI juga dipengaruhi oleh pasar kerja saat itu. Sebelumnya, jumlah lulusan sekolah menengah atas yang sedikit dan pemerintahan sedang berkembang mengakibatkan pemerintah menjadi perekrut utama lulusan pendidikan tinggi.
Naiknya populasi serta kebijakan Sekolah Dasar Instruksi Presiden (SD Inpres) dianggap mengakibatkan lebih banyak anak masuk sekolah hingga pendidikan tinggi.
Pada 1990-an awal, peningkatan kebutuhan tenaga kerja sektor swasta turut meningkat. Namun, yang dicari adalah lulusan yang terspesialisasi di suatu bidang.
Dengan oversupply lulusan pendidikan tinggi, tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah atas meningkat. KMI dalam hal ini dinilai tidak mengantisipasi tingkat pengangguran lulusan pendidikan tinggi dengan baik.
(del/agt)