Jakarta, CNBC Indonesia – Berdasarkan penelitian, El Nino akan sering terjadi dan ekstrem hingga memakan korban lebih banyak dari yang pernah dilaporkan. Bahkan disebut fenomenanya akan menjadi sesuatu yang permanen.
Fenomena tersebut membuat angin pasat di khatulistiwa menjadi melemah. Sebaliknya perairan untuk Pasifik Timur lebih hangat.
Meski, mengutip Live Science, Sabtu (9/11/2024), tidak semua setuju dengan hasil penelitian tersebut.
Peneliti Tobias Bayr beserta rekannya menemukan model iklim mewakili siklus fenomena iklim tersebut.
Berbeda dengan penelitian lain, mereka mengatakan pemanasan global tidak membuat El Nino pemanen. Namun memang akan memperburuk kondisi dan lebih sering terjadi.
Setidaknya akan ada 8-9 peristiwa El Nino ekstrem selama satu abad berdasarkan kondisi sekarang. Jumlahnya bisa meningkat mencapai 26 El Nino ekstrem per abad jika pemanasan global menaikkan suhu bumi 3,7 derajat Celcius.
Menurut penelitian, El Nino tersebut akan jauh lebih buruk dari apa yang terjadi pada tahun 1997-1998. Saat itu kematian akibat El Nino mencapai 23 ribu jiwa serta kerugian miliaran dolar karena sejumlah peristiwa dari badai, banjir, wabah dan kekeringan.
Sebagai informasi El Nino ekstrem ditentukan dari jumlah curah hujan di kawasan tropis tengah Pasifik. Ini terjadi selama Bumi Utara mengalami musim dingin.
Temuan penelitian ini juga membuka pertanyaan baru. Yakni apakah El Nino menjadi titik kritis iklim, merujuk pada perubahan drastis iklim Bumi dan membuatnya tidak bisa kembali normal setelah panas ekstrem.
Di Indonesia sendiri, BMKG menyebutkan El Nino sudah berakhir. Ini berdasarkan anomali suhu muka laut yang menunjukkan ENSO di fase Netral, dan digantikan dengan La Nina mulai Agustus 2024.
La Nina merupakan fenomena yang terjadi karena hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Pada akhirnya membuat massa air laut ke arah barat terdorong dan suhu muka laut di bagian timur lebih dingin.
(dce)