Jakarta, CNN Indonesia —
Pembunuhan disertai mutilasi memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dipecahkan. Kondisi korban yang terpotong-potong, bahkan dibakar, mempersulit penemuan bukti kejahatan. Bagaimana cara mengidentifikasi korban sekaligus membongkar kasusnya?
Kasus terbaru adalah pembunuhan dengan modus jual beli senjata api di Mimika, Papua, Selasa (22/8) pukul 21.50 WIT. Korbannya adalah Arnold Lokbere, Irian Nigiri, Leman Nigiri, dan Atis Tini.
Mereka dibunuh dan dibuang ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka dalam kondisi termutilasi serta dibungkus dalam enam karung.
Hasil investigasi aparat berujung pada penetapan enam prajurit TNI dari Satuan Brigif R 20/IJK sebagai tersangka. Mereka terancam pidana seumur hidup.
Nasib berbeda terjadi pada kasus pembunuhan jurnalis pengkritik rezim Arab Saudi Jamal Khashoggi (59) di dalam konsulat Saudi di Istanbul, Turki, 2 Oktober 2018.
Sejumlah pejabat sempat melontarkan dugaan bahwa Khashoggi tewas dibunuh dengan cara mutilasi saat diinterogasi di dalam gedung. Jejak DNA pun dicari di semua bagian.
Namun, Turki, yang sedang butuh investasi termasuk dari Timur Tengah, menyerahkan kasus Khashoggi ke Arab Saudi tanpa mengungkap dalangnya.
Seberapa sulit memangnya kasus mutilasi ini?
Dalam jurnal yang diterbitkan Walsh Medical Media dengan judul Establishing Identity and Cause of Death in Mutilated and Un Identifiable Corpses: A Challenging Task for Medico Legal Expert, tiga akadimisi dari Departemen Kedokteran Forensik dan Toksikologi, The Grant Government Medical College, India, mengungkap ada tingkat kesulitan berbeda untuk identifikasi kasus mutilasi.
Pengenalan korban post-mortem (pasca-kematian) dalam kondisi normal adalah dengan menggunakan sidik jari, bukti gigi atau kerangka. Namun beda halnya pada kematian akibat kebakaran, ledakan, kecelakaan pesawat terbang, atau mutilasi.
“Pelaku sering menggunakan api untuk untuk menghancurkan tubuh, menghancurkan fitur yang digunakan dalam identifikasi korban (misalnya, wajah atau sidik jari), dan/atau menghancurkan bukti terkait dengan keadaan sekitar kematian,” tulis mereka.
Pasalnya, pembakaran membuat jaringan biologis sulit dikenali, menjadi hitam pekat serupa materi lainnya; tulang pun berubah warna, rapuh, dan sangat terfragmentasi.
Untuk menjawab identitas korban, jenis kelamin, umur, hingga penyebab kematian korban mutilasi atau insiden fatal lainnya, perlu “pemeriksaan otopsi lengkap ini antara lain: pemeriksaan gigi dan analisis DNA”.
DNA merupakan materi genetik yang diturunkan dari orang tua ke anak. Materi ini unik dan berbeda di tiap orang, tak berubah sepanjang hayat, dan mengikuti Hukum pewarisan Mendel.
Untuk mengungkap identitas korban, biasanya petugas mengambil sampel DNA dari keluarga sedarah, terutama orang tua atau anak. DNA itu kemudian dicocokkan dengan sampel yang didapat dari sisa jasad korban.
Tantangan berikutnya adalah mengambil sampel dari korban mutilasi yang dibakar. Kualitas dan kuantitas DNA, misalnya, dari tulang pun berkurang.
Para pakar menyebut “gigi merupakan sumber bahan DNA yang sangat baik”. Pasalnya, organ ini tahan terhadap pembakaran, perendaman, mutilasi, dan dekomposisi atau penguraian.
Banyak metode
Para ahli mengambil sampel dari 51 kasus di mana identitas dan penyebab korban sulit diidentifikasi. Dari sampel-sampel itu, 39 kasus (76,47 persen) di antaranya adalah kasus korban kebakaran dan tubuhnya hangus.
Sementara, 13,7 persen kasus lainnya merupakan korban pembunuhan, dan 7,8 persen kasus sisanya adalah korban mutilasi.
Para ahli itu kemudian melihat bahwa analisis DNA menjadi metode yang paling sering digunakan untuk memeriksa korban, dilakukan pada 34 kasus (66,7 persen).
Di urutan kedua, aparat biasanya menggunakan pemeriksaan gigi (9,80 persen), sisanya memanfaatkan barang milik pribadi (5,9 persen), baju korban (9,8 persen), foto (1,96 persen), tato (1,96 persen), dan tak teridentifikasi, (3,9 persen).
“Jejak DNA adalah metode yang dominan digunakan untuk identifikasi dan terbukti lebih membantu dalam 34 kasus, diikuti pemeriksaan gigi,” tulis para ahli tersebut.
Menurut para ahli itu, DNA menjadi metode identifikasi yang sangat berguna dikarenakan manusia memiliki DNA yang unik dengan kode yang sama pada anggota keluarga. Sehingga mencocokkan DNA korban dengan keluarga dapat secara mudah mengungkap identitas korban.
Namun demikian, mengambil DNA dari korban mutilasi bukan perkara gampang. Pasalnya, kualitas DNA bisa menurun terutama jika tulang-belulang korban sudah lama terendam air, dibakar, atau terkubur dalam waktu yang lama.
Keampuhan teknik pencocokan DNA ini pernah terbukti di kasus mutilasi dengan pelaku Very Idham Henyansyah alias Ryan Jombang pada 2008.
Kasus ini pertama kali diungkap setelah Polda Metro Jaya menangkap Ryan atas tuduhan memutilasi teman dekatnya, Heri Santoso, di Depok pada 11 Juli 2008. Setelah itu, kepolisian mengungkap sejumlah korban lain Ryan.
Beberapa korban lantas ditemukan di pekarangan rumah orang tua Ryan di Jombang. Sayangnya, ada satu korban yang masih belum diketahui identitasnya karena tidak ada sampel DNA dari pihak keluarga.
Menurut para ahli dari India itu, pemeriksaan anatomi rangka dan DNA memang penting untuk menganalisis identitas. Namun, tetap perlu ada penggunaan metode lainnya. Misalnya, penilaian radiologis usia, cedera, benda asing, data tubuh, dan gigi.
“Analisis kimia sampel mungkin terbukti membantu dalam beberapa kasus. Pendekatan multifaktor diperlukan untuk menetapkan identitas dan penyebab kematian,” tulis ketiga pakar itu.
(lom/lth)
[Gambas:Video CNN]