Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Malaysia Ramai Diserbu Asing, Petaka di Depan Mata

Malaysia Ramai Diserbu Asing, Petaka di Depan Mata

Jakarta, CNBC Indonesia – Raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Nvidia, hingga Alibaba, ramai-ramai membangun data center di Malaysia, tepatnya di kawasan Johor.

Kebutuhan data center makin krusial untuk menyokong teknologi komputasi cloud dan kecerdasan buatan (AI) yang digadang-gadang sebagai pendorong ekonomi digital masa depan.

Kawasan Asia Tenggara dilirik karena kapasitas lahan, listrik, dan air yang masih melimpah untuk membangun infrastruktur data center.

Adapun Johor menjadi sasaran utama karena beberapa faktor. Salah satunya lokasi yang dekat dengan perbatasan Singapura sebagai jalur internet bawah laut paling padat di dunia.

Singapura sebelumnya juga menjadi incaran investor asing untuk membangun data center. Namun, pada 2019, Singapura yang padat populasi memberlakukan moratorium yang mempersulit pembangunan data center. Hal ini dipicu penggunaan energi yang berlebihan di negara tersebut.

Terlebih, Malaysia juga memiliki hubungan yang baik dengan AS dan China, sehingga memperkecil risiko politik untuk perusahaan-perusahaan yang hendak berinvestasi. Apalagi, pemerintah Malaysia cukup akomodatif ke investor asing.

Dikutip dari Rest of World, Kamis (7/11/2024), Malaysia menambah kapasitas data center paling cepat di kawasan Asia-Pasifik. Potensi permintaan listriknya mencapai 850 MW yang diumumkan untuk semester 2024.

Dalam 3 tahun terakhir, Johor telah menarik sekitar 50 proyek data center, termasuk dari ByteDance dan Microsoft. Menurut firma riset DC Byte, kapasitas total data center di Johor, termasuk yang sedang dibangun dan direncanakan, telah bertumbuh 100 kali lipat dalam 5 tahun terakhir.

Popularitas data center di Johor telah mencetak sekitar 40.000 lapangan kerja baru di Malaysia, menurut laporan Rest of World.

Menurut estimasi Maybank, Johor akan menarik investasi data center senilai US$3,8 miliar pada tahun ini.

Malaysia sudah lama menargetkan negaranya sebagai hub teknologi global. Tahun lalu, ekonomi digital malaysia telah memperkerjakan lebih dari 1,2 juta orang dan berkontribusi terhadap seperempat total PDB.

Agaknya Malaysia mengambil momentum tepat dari moratorium yang dirilis Singapura pada 2019. Sejatinya, Singapura telah kembali mengizinkan penambahan data center baru dengan kapasitas 300 MW, selama menggunakan sumber energi hijau.

Hal ini dilakukan setelah Singapura melihat potensi besar industri data center dalam beberapa tahun ke depan. Rencana penambahan kapasitas 300 MW itu tertuang dalam “Peta Jalan Pusat Data Ramah Lingkungan”.

Namun, para operator data center sudah lebih dulu menemukan wilayah baru untuk pembangunan fasilitas data center, yakni tepat di tetangga Singapura.

Amazon, Google, Meta, dan beberapa raksasa teknologi memang menjalankan sendiri data center mereka. Namun, mereka juga tetap mengandalkan pihak ketiga untuk 30% kebutuhan di AS dan sekitar 90% kebutuhan global, menurut CEO Princeton Digital Group, Rangu Salgame.

Kebanyakan data center di Johor dijalankan oleh pihak ketiga, sehingga tak memiliki kesepakatan langsung dengan perusahaan teknologi sebelum proyek dimulai.

Setiap data center yang dibangun vendor pihak ketiga bernilai sekitar US$ 1-2 miliar. Jadi, perusahaan teknologi berlaku sebagai tenant dengan memasang hardware mereka sendiri di dalam fasilitas data center.

Salgame memprediksi Malaysia akan menjadi pasar data center terbesar ke-2 di dunia dalam 5 tahun ke depan.

Pengukuran industri data center bisa dilihat dari kapasitas listrik yang digunakan. Virginia Utara memiliki kapasitas aktif 4,2GW dan tambahan 11,4GW yang sedang dibangun.

Johor yang pada 3 tahun lalu memiliki kapasitas di bawah 10MW, kini sudah mencapai 0,34GW yang aktif dan tambahan 2,6GW yang sedang dibangun.

Ancaman Petaka di Malaysia

Peran pemerintah sangat penting dalam menyulap Johor sebagai kekuatan data center baru di Asia. Pemerintah menarik minat investor dengan memudahkan proses perizinan.

Salgame mengatakan pengajuan, pembangunan, dan pengoperasian data center perusahaannya di Johor hanya memakan waktu sekitar 15 bulan.

Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO) Hendra Suryakusuma mengatakan Malaysia memberikan banyak insentif untuk pelaku data center. Perusahaan dengan teknologi green juga mendapatkan insentif yang lebih banyak.

“Kalau di Indonesia, ini memang belum terjadi tapi kalau pemerintah lewat RUU EBT (Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan) yang saat ini sedang digodok di Komisi VII DPR RI berhasil memberikan tambahan insentif dari sisi green initiative, itu akan sangat mendorong tumbuhnya industri data center di Indonesia yang saat ini tumbuh 20-30 persen per tahunnya,” kata Hendra dalam Profit di CNBC Indonesia, beberapa saat lalu.

Kendati demikian, ancaman kebutuhan listrik dan air juga menghantui Malaysia. Riset Bank Investasi Kenanga memprediksi kebutuhan listrik dari data center di sana mencapai 5 gigawatt pada 2035.

Wali Kota Johor Bahru Mohd Noorazam Osman mengatakan pemerintah harus menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Ia meminta pembangunan pabrik desalinasi yang bisa mengubah air laut atau air payau menjadi air tawar. Hal ini untuk memastikan kebutuhan air masyarakat lokal tetap terpenuhi. Sebab, area Johor Bahru mulai menghadapi krisis air gara-gara dialokasikan untuk data center.

Pejabat Komite Investasi, Perdagangan dan Konsumen setempat juga mengatakan pemerintah perlu memberikan panduan jelas soal implementasi penggunaan data center energi hijau di kota tersebut.

(fab/fab)