Jakarta –
Kondisi industri tekstil Indonesia saat ini dalam kondiri yang tidak baik, banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bahkan yang terbaru salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia diputus pailit. Untuk memperbaiki kondisi ini, pemerintah diminta untuk fokus menaikkan daya beli masyarakat.
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bambang Haryo Soekartono mengatakan sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Tetapi saat ini masyarakat sudah memandang kebutuhan sandang sudah bukan kebutuhan pokok lagi.
Sebab, mereka masih menggunakan pakaian lama yang masih bisa dipakai untuk sehari hari. Mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok lainnya seperti pangan, energi (listrik, gas, BBM) Air, kesehatan dan pendidikan, yang saat ini biaya kebutuhan tersebut mengalami kenaikan tajam sehingga membebani masyarakat.
“Daya beli masyarakat untuk sandang menurun tajam bahkan hampir mendekati tidak ada,” kata Bambang di Jakarta, Minggu (3/11/2024).
Penurunan daya beli ini, tidak hanya berdampak pada produk sandang dalam negeri, tapi juga pada produk sandang impor. Sebagai bukti, beberapa titik penjualan barang impor mengalami penurunan. Misalnya gerai barang impor yang ada di banyak mall termasuk pasar- pasar grosir misalnya Mangga Dua dan ITC yang juga menjual barang barang impor, mengalami penurunan drastis bahkan melebihi 50 persen dan mengakibatkan sebagian besar outletnya tutup.
“Inilah penyebab utama dari hancurnya industri sandang kita. Padahal di tahun 2010 hingga tahun 2014, industri sandang di Indonesia yang jumlahnya sekitar 2.300 semuanya masih eksis, termasuk PT Industri Sandang Nusantara. Walaupun produk tekstil maupun pakaian impor sangat melimpah di pasaran,” ujarnya.
Ia menambahkan, industri sandang Indonesia yang mengalami penurunan drastis penjualannya, bukan sepenuhnya akibat dari industri tekstil impor. Tetapi lebih dikarenakan daya beli masyarakat yang turun akibat banyaknya kebutuhan pokok lainnya yang mengalami kenaikan harga yang lebih tinggi.
“Sehingga walaupun industri tekstil dalam negeri nantinya di-support dengan insentif-insentif yang sangat besar tetapi tetap saja masyarakat tidak mempunyai daya beli yang cukup untuk membeli tekstil atau pakaian di saat ini,” ungkapnya lagi.
Bambang menjelaskan semua industri sandang dalam negeri masih membutuhkan bahan baku sebesar 85 persen impor dari Cina. Di sisi lainnya, ada keinginan untuk menghapus Permendag 8 tahun 2024, padahal industri tekstil di Indonesia sendiri masih membutuhkan bahan baku sebagian besar dari Cina.
Dia mengharapkan pelaku industri tekstil mendapatkan kebutuhan bahan baku impor dan lebih meningkatkan inovasi untuk bisa mendapatkan bahan baku dalam negeri.
“Sehingga apabila Pemerintah mendorong masyarakat untuk cinta produk Indonesia dengan slogan Aku Cinta Produk Indonesia. Apabila kita sudah betul betul mandiri, di produk tekstil dalam negeri kita, tak tertutup kemungkinan Permendag 8/2024 itu bisa dihapus,” kata Bambang Haryo.
Jika ingin membenahi iklim industri tekstil dalam negeri, maka pemerintah perlu menyusun suatu sistem yang memungkinkan harga kebutuhan pokok menurun.
(rrd/das)