Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintahan Presiden Jokowi berakhir sejak Presiden terpilih Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI periode 2024—2029. Kini, pemerintahan baru mewarisi ‘beban’ fiskal yang ditinggalkan pemerintahan lama. Walhasil, pemerintahan baru dituntut mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih optimal dan prudensial.
Publik berharap kebijakan fiskal Prabowo, baik instrumen penerimaan maupun belanja negara dikelola secara efektif dan efisien. Maknanya, pemerintahan Prabowo diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara secara signifikan dan piawai menguatkan belanja yang berkualitas serta produktif.
Bahkan, demi menjamin kualitas belanja (spending better) dan belanja yang produktif, Prabowo mengingatkan para menterinya untuk tidak menggunakan dana APBN untuk mencari uang.
Dari sisi pendapatan negara, sebaran sumber pendapatan tampaknya mengalami ketimpangan. Sebab, mayoritas sumber pendapatan berasal dari pajak. Mengacu data BPS (2024) diperkirakan hingga akhir 2024, penerimaan negara yang berasal dari pajak mencapai Rp2.309,9 triliun atau 82,4% dari seluruh penerimaan.
Sementara itu, sisanya sebesar 17,6% terbagi ke sumber pendapatan negara bukan pajak (PNBP), yakni antara lain pengelolaan sumber daya alam (SDA) sebesar Rp207,7 triliun (7,4%). Kemudian diikuti pendapatan bukan pajak lainnya sebesar Rp115,1 triliun (4,1%), BUMN sebesar Rp85,8 triliun (3,1%), dan badan layanan umum sebesar Rp83,4 triliun (3,0%). Menurut Kemenkeu (2024), pada 2025 pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp2.996,9 triliun, dengan perincian bersumber dari pungutan pajak sebesar Rp2.490,9 triliun (83,1%), dan PNBP sebesar Rp505,4 triliun (16,9%).
Merujuk data-data di atas, pertanyaan kritisnya, mengapa Indonesia yang kekayaan SDA-nya melimpah, tetapi penerimaan negara yang bersumber dari SDA terhitung kecil? Pertanyaan ini muncul mengingat Indonesia sebagai salah satu negara penghasil komoditas tambang terbesar di dunia.
Namun, faktanya, total penerimaan negara yang bersumber dari SDA tersebut relatif tipis, sehingga timbul kecurigaan bahwa hasil tambang yang semestinya menjadi jatah negara, tetapi tidak masuk ke kas negara. Kecurigaan itu kian menguat lantaran mencuatnya kasus megakorupsi tambang timah dengan kerugian negara mencapai Rp271 triliun.
Selain itu, penerimaan negara yang berasal dari BUMN juga tidak signifikan, karena tidak mencapai ratusan triliun, sebagaimana yang diharapkan. Padahal BUMN besar, seperti Pertamina, PLN, BRI, Bank Mandiri, BNI, Telkom Indonesia, dan KAI tidak mustahil bisa menyumbang penerimaan negara ratusan triliun rupiah.
Sementara itu, dari sisi belanja negara, legacy yang ditinggalkan pemerintahan Jokowi menjadi tanggungan beban fiskal bagi pemerintahan baru. Indikatornya terjadi pelebaran defisit anggaran yang semula 2,29% (2024) menjadi kisaran 2,45%—2,82% (2025). Walhasil, untuk menutup defisit biasanya pemerintah menambah utang baru.
Apalagi tahun depan pemerintah harus membayar utang dan bunganya yang sudah jatuh tempo. Selain itu, terjadi peningkatan imbal hasil surat berharga negara (SBN) dengan tenor 10 tahun, yang semula 6,7% (2024) menjadi kisaran 6,9%—7,3% (2025).
Hal itu membawa konsekuensi membekaknya pembayaran bunga utang pemerintah. Padahal, pada tahun pertama pemerintahan Prabowo berencana akan menambah utang sebesar Rp775,86 triliun. Oleh karenanya pemerintahan baru tetap melebarkan rasio utangnya sebesar 37,98%—38,71%. Sementara itu, idealnya rasio utang pemerintah terhadap PDB di bawah 30%.
OPTIMALISASI ANGGARAN
Merujuk kerangka ekonomi makro (KEM) dan pokok-pokok kebijakan fiskal (PPKF) 2025, postur makro fiskal 2025 menunjukan target rasio pendapatan negara terhadap PDB kisaran 12,14%—12,36%, dan belanja negara kisaran 14,59%—15,18%.
Angka-angka tersebut menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan APBN 2024. Namun, yang krusial tidak sekadar capaian target tersebut. Melainkan pendapatan dan belanja negara bisa dikelola secara optimal.
Kebijakan fiskal diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan ekstrim, menurunkan gini ratio, meningkatkan investasi, menurunkan angka pengangguran terbuka, meningkatkan nilai tukar petani/nelayan, dan meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). Oleh karenanya, diperlukan sejumlah kebijakan untuk menjamin fiskal dikelola secara optimal.
Pertama, mendorong kreativitas tim ekonomi Prabowo dalam mencari dan menemukan sumber-sumber pendapatan baru, selain pajak (PNBP). Walhasil, pendapatan tidak hanya bertumpu pada perpajakan, sehingga proporsinya bisa berubah, setidaknya sumber dari pajak (70%) dan PNBP (30%).
Kedua, menjamin peningkatan pendapatan negara tidak merusak iklim investasi, tidak merusak lingkungan, memperhitungkan keterjangkauan layanan publik, tidak membebani masyarakat berpendapatan rendah dan usaha mikro kecil.
Ketiga, memastikan realisasi belanja sektor strategis sesuai dengan pagu anggaran, dan tidak terjadi kebocoran. Sektor strategis tersebut antara lain, pendidikan, kesehatan, Perlinsos, hilirisasi serta ekonomi hijau, dan lainya. Terutama dana Perlinsos butuh pengawasan khusus, untuk menjamin dana sosial itu tepat sasaran.