Jakarta, CNBC Indonesia – Kewarganegaraan Amerika Serikat Elon Musk terancam dicabut. Ia juga akan dituntut pidana jika berbohong kepada pemerintah karena melanggar proses imigrasi.
Musk lahir dan dibesarkan di Afrika Selatan, kemudian bermigrasi ke Kanada, sebelum akhirnya menetap di AS dan menjadi warga negara di sana.
Saat ini ia telah menghabiskan lebih dari US$100 juta untuk mendukung kampanye Donald Trump dalam Pilpres AS. Namun ia secara pribadi telah menjelek-jelekkan para imigran.
Analisis Bloomberg baru-baru ini menemukan bahwa Musk telah mem-posting sekitar 1.300 kali di X tahun ini tentang imigrasi dan penipuan pemilih.
Banyak dari postingan tersebut mempromosikan teori konspirasi dan menyebarkan informasi yang salah yang menyatakan bahwa Partai Demokrat berusaha mengganti pemilih kulit putih dengan imigran gelap yang suaranya mereka kendalikan.
Bos Tesla itu juga menggambarkan imigran sebagai pelanggar hukum yang berbahaya, demikian dikutip dari Wired, Jumat (1/11/2024).
Namun, awal minggu ini, The Washington Post melaporkan bahwa Musk sendiri adalah seorang imigran yang tampaknya telah melanggar hukum.
Pada 1990-an, ia bekerja secara ilegal di Amerika Serikat, menurut Washington Post yang mengutip mantan rekan bisnis, catatan pengadilan, dan dokumen perusahaan.
Pada 1995, Musk kemudian diterima di sekolah pascasarjana di Stanford. Tapi alih-alih mendaftar kuliah ia malah bekerja pada perusahaan rintisan layanan daring yang akhirnya dikenal sebagai Zip2.
Pada 1996, investor membuat perjanjian pendanaan dengan syarat Musk dan saudaranya Kimbal, yang telah menyatakan bahwa kedua bersaudara itu adalah “imigran ilegal, memperoleh izin untuk bekerja di AS dalam waktu 45 hari.
“Status imigrasi mereka tidak seperti yang seharusnya agar mereka dapat bekerja secara legal menjalankan perusahaan di AS,” kata anggota dewan Zip2 Derek Proudian kepada Washington Post.
Musk menyangkal bahwa ia pernah bekerja secara ilegal di AS. Pengacaranya, Alex Spiro, dan juru bicara X tidak membalas permintaan komentar.
Ia mengklaim bahwa pada 1995 ia berstatus sebagai mahasiswa. Saat itu ia berada di AS dengan visa J-1, yang kemudian “beralih” ke visa H1-B.
Namun, dalam email 2005 yang dimasukkan sebagai bukti dalam gugatan pencemaran nama baik yang kini telah ditutup di California, ia menulis bahwa ia telah mendaftar ke Stanford karena ia tidak memiliki hak hukum untuk tinggal di negara tersebut.
Musk kemudian dilaporkan tidak mendaftar di Stanford, melainkan mengerjakan proyek yang kemudian menjadi Zip2.
Jika sesuai aturan, Musk tidak akan memiliki hak untuk bekerja pada saat itu dan harus meninggalkan negara tersebut.
Melebihi masa berlaku visa pelajar merupakan praktik yang relatif umum. Namun, bekerja tanpa izin dan berbohong tentang hal itu selama proses imigrasi, menjadi tindakan melanggar hukum AS.
Stephen Yale-Loehr, seorang profesor di Sekolah Hukum Cornell dan direktur fakultas Program Hukum dan Kebijakan Imigrasi, mengatakan tidak jelas apakah jika Musk bekerja di AS tanpa izin dan menyatakan tidak melakukannya, hal itu akan dianggap cukup penting untuk mencabut kewarganegaraannya.
Namun, katanya, atas dasar hukum semata, hal ini akan membenarkan pencabutan kewarganegaraan, karena jika dia mengatakan yang sebenarnya, dia tidak akan memenuhi syarat untuk mendapatkan H1-B, green card, atau naturalisasi.
(fab/fab)