Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah menyatakan akan kembali fokus menyehatkan konsumsi atau daya beli masyarakat untuk menghadapi terus ambruknya angka Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang baru dirilis S&P Global hari ini, Jumat (1/11/2024).
Rilis terbaru indeks yang menjadi indikator gambaran kondisi bisnis di sektor manufaktur suatu negara itu per Oktober 2024 sebesar 49,2 atau kembali terkontraksi karena di bawah angka 50. PMI Manufaktur Indonesia sudah kontraksi selama empat bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), dan Oktober (49,2).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, sebetulnya kondisi kontraksi indeks PMI Manufaktur itu tidak hanya dialami Indonesia, namun terjadi juga di berbagai negara ASEAN.
“Berbagai negara masih kontraksi di sektor manufaktur termasuk di ASEAN. Hanya mungkin yang masih baik itu adalah Vietnam,” kata Airlangga saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Khusus Indonesia, Airlangga mengatakan merosotnya angka indeks manufaktur itu masih disebabkan oleh pelemahan tingkat konsumsi di dalam negeri. Maka, fokus ke depan pemerintah adalah memperbaiki konsumsi mereka.
“Tentu kita akan melihat kalau bagi kita di Indonesia kita melihat juga dari segi domestik itu terjadi pelemahan konsumen juga. Nah tentu kita berharap ini bisa recover, kalau konsumsinya recover kita juga berharap industri-nya juga bisa akan terdorong,” ungkap Airlangga.
Sebagaimana diketahui, S&P menjelaskan manufaktur Indonesia mengalami penurunan marginal dan tidak berubah angkanya karena melemahnya output, pesanan baru, dan tambahan lapangan pekerjaan. Kondisi ini mencerminkan lesunya pasar manufaktur serta tenaga kerja.
Tumpukan pekerjaan berkurang karena beban perusahaan dalam produksi berkurang menyusul berkurangnya pesanan. Stok barang pun jadi meningkat selama empat bulan beruntun. Yang mengkhawatirkan, keyakinan terhadap prospek ekonomi ke depan juga turun ke level terendah dalam empat bulan.
“Manufaktur Indonesia terus menunjukkan kinerja yang lesu pada Oktober, dengan produksi, pesanan baru, dan lapangan pekerjaan semuanya mengalami penurunan marginal sejak September,” tutur Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, dalam website resminya.
Begitu pula dengan negara di ASEAN yang mayoritas masih berada di teritori kontraksi (angka PMI Manufaktur kurang dari 50). Contohnya di Myanmar dengan PMI Manufaktur berada di angka 48,4 pada Oktober 2024 dengan penurunan pesanan baru dan output yang mereda sejak September.
Malaysia juga berada di kategori kontraksi dengan angka PMI Manufaktur sebesar 49,5 atau tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Adapun Thailand belum masuk ke zona kontraksi karena level PMI Manufaktrunya 50, turun tipis dari sebelumnya 50,4. Hanya Vietnam yang di level 51,2 dari sebelumnya 47,3.
(arj/mij)