Jakarta –
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan masih menjadi polemik yang dikeluhkan banyak pihak, khususnya untuk Pasal yang mengatur terkait produk hasil tembakau dan cara penjualannya.
Di mana yang kerap menjadi sorotan adalah aturan dalam Pasal 434 Ayat (1) PP Nomor 28 Tahun 2028 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik:
a. menggunakan mesin layan diri;
b. kepada setiap orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil;
c. secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik;
d. dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui;
e. dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak; dan
f. menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
“Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f bagi jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dikecualikan jika terdapat verifikasi umur,” tulis Pasal 434 Ayat (2) aturan tersebut.
Dalam hal ini sejumlah pihak merasa aturan terkait larangan berjualan rokok secara eceran alias keteng (huruf c) dan jarak minimal dari institusi pendidikan (huruf e) tidak relevan dan sangat memberatkan.
“Kami resah karena aturan ini secara perlahan membunuh kami. Larangan penjualan rokok eceran saja sudah sangat memberatkan, ditambah lagi aturan jarak minimal dengan institusi pendidikan. Ini tidak relevan. Lagipula, kami tidak mungkin menjual rokok kepada anak-anak di bawah umur,” ungkap Ketua Paguyuban Pemilik Warung Kopi, Hussein Gozali, Jumat (27/9/2024) lalu.
“Kami menolak keras dua larangan ini karena beberapa faktor. Salah satunya karena banyak pasar yang berdekatan dengan sekolah, institusi pendidikan, atau fasilitas bermain anak. Peraturan ini juga dapat menurunkan omzet pedagang pasar yang banyak berasal dari penjualan produk tembakau. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru bagi kami sebagai pelaku usaha,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) Suhendro dalam keterangannya, Minggu (4/8/2024) lalu.
Di luar itu ada juga Pasal 435 PP 28/2024 terkait yang turut menjadi polemik. Di mana dalam Pasal itu seluruh kemasan rokok yang beredar di Indonesia harus memenuhi ketentuan atas desain dan tulisan produk.
Setiap Orang yang memproduksi dan I atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan,” tulis
Kemudian aturan terkait kemasan rokok dan produk hasil tembakau dirinci dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Di mana RPMK itu mengusulkan kemasan rokok yang dijual tidak menunjukkan merek alias polos. Hal inilah yang kemudian membuat sejumlah kelompok masyarakat tercatat sudah menyampaikan penolakan mereka dengan tegas meski aturan ini belum resmi disahkan.
“Sejak masih dalam bentuk RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah), kami sudah menolak secara tegas. Kami buat petisi, tapi tidak didengarkan pemerintah. Sekarang, lagi-lagi, RPMK dengan aturan rokok kemasan polos tanpa merek, dan banyak aturan lain yang sangat menekan industri tembakau juga sedang dikejar untuk dirampungkan. Padahal aturan ini jelas-jelas akan membunuh keberlangsungan petani tembakau,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DI Yogyakarta, Sutriyanto, dalam keterangannya Kamis (9/10/2024) lalu.
“Beberapa pasal dalam RPMK 2024 berpotensi merugikan petani tembakau, UMKM, asosiasi dan industri rokok. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk penolakan dari beberapa kelompok,” tutur Sarmidi dalam siaran persnya kemarin.
Lihat Video: Pengendalian Produk Tembakau Perlu Dukungan Industri Hulu dan Hilir
(fdl/fdl)