7 Pernyataan Komisi I DPR RI Terkait Revisi UU TNI, Beberkan Pasal yang Dibahas – Page 3

7 Pernyataan Komisi I DPR RI Terkait Revisi UU TNI, Beberkan Pasal yang Dibahas – Page 3

Anggota Komisi I DPR, Nurul Arifin menyatakan pihaknya siap mencermati rencana revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dia menuturkan, Fraksi Golkar kini tengah menilik Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi UU TNI yang telah diterima DPR dari pemerintah.

“Kami di Fraksi Golkar siap untuk membahas dan melakukan revisi UU TNI agar lebih relevan dengan perkembangan zaman,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (13/3/2025).

Menurut Nurul, terdapat beberapa pasal yang menjadi perhatian utama, yakni Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53.

“Ada beberapa pasal yang menjadi perhatian utama kami, tetapi kami juga akan menyisir pasal-pasal lain yang masuk dalam revisi,” ucap dia.

Nurul memaparkan, di Pasal 3 dalam UU TNI perlu mendapatkan perhatian khusus karena berkaitan dengan koordinasi dan kedudukan TNI dalam struktur pemerintahan, terutama dalam hubungan dengan Presiden dan Kementerian Pertahanan.

Sementara itu, lanjut dia, Pasal 7 yang mengatur tugas pokok TNI, termasuk operasi militer selain perang, juga menjadi bagian yang perlu dikaji lebih dalam.

Beberapa tugas seperti penanganan separatisme bersenjata, pemberontakan, hingga pengamanan objek vital nasional menjadi poin yang harus disesuaikan dengan tantangan pertahanan modern.

“Tugas pokok TNI harus dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini, di mana tantangan pertahanan dan keamanan negara semakin kompleks,” klaim Nurul.

Selain itu, kata dia, di Pasal 47 yang mengatur mengenai posisi prajurit dalam jabatan sipil juga menjadi perhatian. Nurul menyoroti aturan bahwa prajurit hanya bisa menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri, dengan beberapa pengecualian untuk jabatan tertentu.

“Perlu ada penyesuaian dalam aturan ini agar tetap sejalan dengan prinsip profesionalisme TNI, sekaligus mempertimbangkan kebutuhan nasional,” papar Nurul.

Saat ini, usia pensiun perwira ditetapkan 58 tahun, sedangkan untuk bintara dan tamtama 53 tahun. Namun, revisi yang diusulkan akan membuat usia pensiun lebih bervariasi sesuai dengan pangkat masing-masing prajurit.

Menurut Nurul, usulan ini bertujuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta memastikan efektivitas dan efisiensi dalam regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI.

“Kami ingin memastikan bahwa aturan mengenai usia pensiun ini tetap memberikan keseimbangan antara regenerasi di tubuh TNI dan pengalaman yang dimiliki prajurit senior,” tutur dia.

Nurul menegaskan, revisi UU TNI ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme TNI, sehingga institusi pertahanan negara ini dapat lebih adaptif dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.

“Kami ingin memastikan bahwa TNI tetap relevan dengan perkembangan zaman, baik dari segi teknologi, strategi pertahanan, maupun kebijakan yang berkaitan dengan ketahanan nasional,” pungkasnya.

Sementara itu, perpanjangan usia pensiun diharapkan dapat memberikan ruang bagi personel yang masih produktif untuk terus berkontribusi dalam menjaga kedaulatan negara.

“Kami setuju dengan penambahan usia pensiun karena pada usia 60-an, seseorang masih memiliki daya pikir yang tajam dan kemampuan fisik yang baik, terlebih bagi personel TNI yang sejak muda sudah terbiasa dengan pola hidup sehat dan menjaga kebugaran tubuh,” ujar Anggota Komisi I DPR RI, Farah Puteri Nahlia dikutip Sabtu 15 Maret 2025.

Dia menjelaskan, salah satu tantangan utama dari perpanjangan usia pensiun adalah korelasi antara peningkatan usia dengan produktivitas yang diberikan oleh para perwira tinggi TNI.

Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa asesmen tambahan diterapkan secara ketat untuk memastikan bahwa setiap kenaikan pangkat diberikan kepada personel best of the best, sesuai dengan prinsip meritokrasi (merit system).

Kemudian, dia melanjutkan, peningkatan usia pensiun harus sejalan dengan peningkatan kontribusi nyata kepada negara, terutama bagi perwira tinggi berpangkat bintang dua ke atas, yang memiliki peran strategis dalam pengambilan kebijakan pertahanan.

“Transparansi dalam kenaikan pangkat harus diperkuat, sehingga tidak terjadi promosi yang hanya didasarkan pada kepentingan tertentu, melainkan benar-benar berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak pengabdian,” ucap dia.

Menurut Farah, dalam perspektif anggaran, perpanjangan usia pensiun TNI akan berimplikasi pada kenaikan biaya pegawai, termasuk gaji, tunjangan kesehatan, tunjangan jabatan, dan hak-hak lainnya yang ditanggung oleh negara. Hal ini perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak menimbulkan ketimpangan antara alokasi belanja pegawai dan modernisasi alutsista.

“Fokus pada modernisasi alutsista dan penguatan postur pertahanan nasional. Oleh karena itu, perlu dikaji apakah penambahan usia pensiun ini akan mempengaruhi kemampuan negara dalam membangun sistem pertahanan yang lebih modern,” tambah Farah.

Dia mengungkapkan, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah dampak perpanjangan usia pensiun terhadap regenerasi kepemimpinan di internal TNI. Saat ini, terdapat banyak perwira menengah dan tinggi yang masih memiliki masa dinas yang panjang, khususnya jenderal bintang satu dan dua.

“Bagaimana dengan jenjang karier perwira muda yang potensial? Jika masa pensiun diperpanjang, maka proses regenerasi dalam kepemimpinan TNI juga akan semakin panjang. Kemudian juga bagaimana strategi TNI dalam memastikan pembinaan kader tetap berjalan dengan baik, sehingga kesempatan promosi tidak hanya terbatas pada mereka yang lebih senior?,” kata dia.

Perpanjangan usia pensiun, kata dia, semestinya diiringi dengan perbaikan sistem pembinaan kader, sehingga kepemimpinan di tubuh TNI tetap segar, dinamis, dan siap menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Selain itu, sebagai bagian dari reformasi TNI, perlu dipertimbangkan juga apakah dengan adanya perpanjangan usia pensiun, maka persyaratan untuk menjadi jenderal juga harus diperkuat.

“Perlukah kriteria baru seperti pengalaman strategis, pelatihan khusus, serta rekam jejak kepemimpinan di level operasional dan kebijakan nasional sebagai bagian dari asesmen? Kebijakan ini harus dipastikan tidak hanya memperpanjang masa dinas, tetapi juga meningkatkan kualitas kepemimpinan TNI ke depan,” dia menandaskan.