7 Ketika Negara Lebih Tertarik Rekening Nganggur Dibanding Pengangguran Nasional

7
                    
                        Ketika Negara Lebih Tertarik Rekening Nganggur Dibanding Pengangguran
                        Nasional

Ketika Negara Lebih Tertarik Rekening Nganggur Dibanding Pengangguran
Dikdik Sadikin adalah seorang auditor berpengalaman yang saat ini bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berperan sebagai quality assurer dalam pengawasan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Memiliki minat mendalam terhadap kebijakan publik, Dikdik fokus pada isu-isu transparansi, integritas, serta reformasi pendidikan dan tata kelola pemerintahan. Dikdik telah menulis sejak masa SMP (1977), dengan karya pertama yang dimuat di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan opini karyanya telah dipublikasikan di media massa, termasuk di tabloid Kontan dan Kompas. Dua artikel yang mencolok antara lain “Soekarno, Mahathir dan Megawati” (3 November 2003) serta “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan” (9 Oktober 2024). Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Warta Pengawasan selama periode 1999 hingga 2002, serta merupakan anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada (lulus 2006).
DI NEGERI
ini, sesuatu yang tak bergerak kadang lebih mencemaskan negara ketimbang yang bergerak. Rekening yang tidak mencatat aktivitas selama tiga bulan saja kini diperlakukan seperti ruang gelap yang patut dicurigai.
Ia dibekukan, ditandai, dan dianggap membahayakan sistem.
Sementara itu, jutaan manusia, yang detak jantungnya nyata, yang langkahnya merayap mencari kerja, yang pikirannya penat oleh penolakan lapangan kerja, tak kunjung dianggap urgen oleh negara. Tak dibekukan, memang, tapi juga tak disentuh.
Ironi ini pun menjelma satire yang viral di media sosial:

Rekening nganggur 3 bulan diblokir negara…

Tanah nganggur 2 tahun disita negara…

Kamu nganggur bertahun-tahun, negara tidak peduli
.”
Sebaris lelucon, sebaris keluh kesah, sebaris pengingat bahwa negara kini tampak lebih gesit membekukan saldo ketimbang menyapa warganya yang kehilangan pendapatan.
Mari kita mulai dari fakta. Menurut data PPATK, sepanjang tahun 2024, terdapat lebih dari 28.000 rekening pasif yang digunakan untuk aktivitas ilegal: dari deposit judi online, perdagangan narkotika, hingga penipuan digital lintas negara.
Dana mencurigakan yang mengalir di dalamnya mencapai lebih dari Rp 4,2 triliun.
Rekening dormant
, atau rekening pasif tersebut, diindikasikan telah menjadi
tool
baru sindikat kriminal: dibeli dari pemilik asli, dikuasai diam-diam, lalu dijadikan penampung transaksi gelap.
Dalam konteks ini, langkah PPATK tampak masuk akal. Ibarat rumah kosong yang bisa disusupi pencuri, rekening tak aktif bisa jadi pintu masuk kejahatan. Negara pun bergerak, memblokir rekening-rekening pasif.
Sebagian publik setuju. Namun, sebagian lain mulai gelisah: Kenapa tidak ada peringatan sebelumnya? Kenapa yang diblokir hanya karena diam?
Yang membuat publik waswas bukan soal keamanan, tapi soal batas. Apakah negara mulai menyelinap ke ruang privat warganya atas nama perlindungan?
Rekening pasif bisa jadi milik petani yang hanya menabung setelah panen, atau pensiunan yang tak pernah lagi mengakses ATM.
Bisa jadi milik buruh migran yang akan pulang dua tahun lagi, atau mahasiswa yang lupa bahwa rekeningnya masih aktif.
Mereka tidak menyembunyikan kejahatan. Mereka hanya tak aktif. Namun, dalam sistem hari ini, yang tak aktif bisa kehilangan haknya.
Kita seperti sedang menuju era baru: era algoritma pengawasan. Kekuasaan hari ini tidak mencambuk tubuh, tapi memantau perilaku. Dari saldo yang tak bergerak, hingga data belanja yang tak sesuai tren.
Namun, ketika negara masuk terlalu dalam ke ruang-ruang personal, tanpa edukasi, tanpa dialog, maka kepercayaan akan berubah menjadi ketakutan. Dan ketakutan, kita tahu, adalah pupuk subur bagi negara yang terlalu ingin mengontrol.
Di Jepang,
rekening dormant
baru masuk kategori
unclaimed assets
setelah lima tahun tak aktif, dan bahkan itu pun melalui notifikasi bertahap serta perlindungan hukum yang kuat.
Di Inggris, ada
Dormant Accounts Scheme
—dana pasif disalurkan ke kegiatan amal, bukan dibekukan secara sepihak.
Di Indonesia? Tiga bulan saja tak digunakan, rekening bisa langsung dibekukan.

Tanpa pemberitahuan berlapis. Tanpa perlindungan hukum yang kuat. Tanpa kesiapan literasi digital yang memadai.
Survei OJK 2023 mencatat, hanya 49,68 persen warga Indonesia memiliki pemahaman dasar soal keuangan digital. Maka wajar jika banyak yang panik, bahkan tak tahu apa salahnya.
Bagaimana dengan
pengangguran
?
Kita begitu cepat mengatur saldo menganggur, tapi begitu lamban menyentuh penderitaan manusia yang menganggur.
BPS mencatat, per Februari 2024, ada 7,2 juta pengangguran terbuka di Indonesia.

Jika ditambah pekerja informal, atau pekerja tak sesuai kompetensi, jumlahnya bisa melewati 15 juta jiwa.
Negara tak membekukan mereka. Tak mengirim surat peringatan. Tak menanyakan: “kenapa Anda tak aktif bekerja?” Karena mereka bukan rekening.
Padahal di negara lain, pengangguran adalah panggilan darurat, bukan statistik yang didiamkan.
Di Jerman, ada sistem
Arbeitsagentur
yang secara aktif memanggil warga yang kehilangan pekerjaan untuk diwawancara, diberi pelatihan gratis, dan dicarikan lowongan sesuai kompetensi mereka.
Di Australia, pemerintah memiliki program JobSeeker dan SkillsCheckPoint—yang bukan hanya memberikan tunjangan, tetapi juga mewajibkan pelatihan dan pembimbingan karier.
Bahkan di negara tetangga seperti Singapura, program
SkillsFuture
menawarkan kredit pelatihan tahunan kepada setiap warga dewasa untuk meningkatkan keterampilan dan berpindah ke sektor-sektor yang sedang tumbuh.
Mereka, para pengangguran, dipanggil, dibina, dan ditawarkan harapan. Sementara di sini, yang kita panggil justru rekening.
Mungkin di sinilah masalah kita hari ini: negara bergerak bukan karena peduli, tapi karena takut. Takut pada uang gelap, pada pencucian dana, pada transaksi mencurigakan.
Namun, rasa takut itu justru menyasar pada mereka yang paling lemah: mereka yang diam, mereka yang pasif, mereka yang hanya ingin hidup tenang. Dan dalam dunia yang makin digital, diam pun kini dianggap membahayakan.
Kita bisa menyusun kebijakan yang lebih berimbang. Ada beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan pemerintah dan otoritas keuangan.
Pertama, notifikasi berlapis dan berbasis risiko. Jangan langsung blokir. Kirim notifikasi resmi, via SMS, e-mail, bahkan surat fisik jika perlu, 3–6 bulan sebelum pembekuan.
Sistem ini bisa memakai pendekatan
risk-based
, hanya menargetkan rekening dengan potensi penyalahgunaan tinggi.
Kedua, perlindungan hukum untuk rekening dormant. Tetapkan regulasi eksplisit bahwa dana tidak bisa disita, dipindah, atau dipotong tanpa proses hukum. Pemilik tetap memiliki hak penuh, walau pasif.
Ketiga, pusat edukasi keuangan digital nasional. Bangun platform digital bersama OJK, PPATK, dan BI untuk literasi keuangan — termasuk tentang rekening dormant, risiko jual-beli akun, dan keamanan data perbankan.
Keempat, saluran klarifikasi yang ramah dan cepat. Sediakan jalur komunikasi khusus bagi pemilik rekening pasif yang ingin melakukan reaktivasi atau klarifikasi. Jangan biarkan masyarakat bingung dan dipingpong.
Kelima, evaluasi ulang batas tiga bulan. Batas waktu tiga bulan terlalu singkat dan tidak proporsional dibandingkan negara lain. Sebaiknya ditinjau ulang menjadi 12 bulan atau lebih, seperti di banyak negara maju.
Keenam, fokus pada pelaku kejahatan, bukan warga biasa. Gunakan sistem kecerdasan buatan (AI) dan forensik data untuk menyisir jaringan transaksi, bukan sekadar karena diamnya saldo.
Semua solusi tersebut bukan untuk melemahkan upaya penegakan hukum, tetapi untuk memastikan bahwa dalam melindungi sistem keuangan, negara juga harus melindungi warganya dari ketidakadilan prosedural dan kecurigaan yang membabi buta.
Maka yang kita butuhkan adalah edukasi publik, transparansi prosedur, dan perlindungan hak digital warga.
Negara tentu memiliki hak untuk menjaga sistem. Namun, apabila negara lebih curiga pada saldo rekening yang menganggur daripada nasib manusia yang membeku dalam pengangguran, maka mungkin yang membeku bukan lagi rekening, tapi nurani.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.